CERPEN
Oleh:
Mahmud Yasin
Ilustrasi gambard diambil dari:https://id.crowdvoice.com/posts/efek-bulan-purnama-2bdk |
Malam masih remang. Cahaya bulan
bundar masih tetap memancar di Majidi. Desa kecil di pinggir kota selong, Lombok Timur. Langit yang menjadi saksi
bisu atas kehidupan yang penuh semangat tanpa akhir. Juga kasih sayang para
ibu-ibu yang
tak pernah tuntas kepada anaknya yang belajar mengaji setiap selesai shalat
magrib.
Pesona bukit Mungki Raya yang
terbelah menjadi dua bayangan. Sekelompok kelelawar yang
melintas, serupa bayangan yang tak jelas mengitari pepohonan di kebun milik
para petani di Majidi, begitu banyak cerita di sand. Mulai dari bebobok[1]
hingga senandung jangkrik yang membuat anak-anak
desa tetangga berhamburan di Majidi, berpendar cahaya senter-senter kecil,
kemudian jinjitan kaki seperti citah yang akan menerkam mangsanya. Belum lagi
dengan sorak sorai anak anak yang baru pulang mengaji dari surau kecil di bawah
pohon beringin yang besar di ujung desa. Dan ceritanya akan lebih panjang jika bertanya pada Kakek Saleh
penjaga surau kecil itu.
Mitos yang ada di desa itu, akan
ada suara tangisan setiap purnama tanggal
15, dimana desa itu bermandikan cahaya. Dan kakek Saleh akan menyediakan
sesajen yang di kumpulkan dari warga sekitar untuk di tempatkan di bawah pohon beringin yang nantinya
akan menghilang dengan tiba tiba. Isinya hanya beras yang di taruh di atas
panci berukuran sedang, ayam yang sudah di bakar, kunyit, daun lekok[2],
buak[3],
uang logam, dan beberapa lembar uang kertas lima ribuan, lalu membakar
kemenyan. Kakek saleh selalu melakukan ritual itu dengan rutin.
"Yang membangun surau ini
adalah sepasang suami istri yang saling menyayangi, tapi mereka tak pernah di
karuniai anak sepanjang hayat mereka. Suatu saat, ketika hendak melakukan
shalat subuh, warga sekitar menemukan mereka dalam keadaan tak bernyawa. Tak
ada satupun warga yang mengetahui penyebab kematian mereka." Cerita kakek panjang lebar pada Nanda. Murid yang
satu-satunya belajar mengaji padanya
hingga sekarang.
Malam ini tepat tanggal 15
bulan purnama. Bulan di langit majidi semakin congkak dengan sinarnya, angin berhembus menerbangkan dedaunan kering di halaman surau. Kakek Saleh terduduk di tangga surau yang hanya tiga biji
dan lebarnya satu meter, itu saja. Kakek masih melamun, dedaunan kering yang
tertiup angin seakan berbisik, entah menggunakan bahasa apa, yang jelas manusia tidak akan mengerti meski seperti suara
bisikan. Hingga Nanda menegurnya.
"Kakek ngelamunin apaan, sih?" Kakek saleh hanya membalasnya dengan muka
masam."kakek...!" ketus gadis kecil berjilbab itu. Mungkin ia kesal dengan jawaban kakek yang hanya dengan
muka masam.
Nanda masih berdiri di depan
pohon beringin dan memandanginya keatas lalu kebawah. Ia seperti bercakap
antara sesama batin. Apakah pohon memiliki batin ?. Tapi Nanda masih
melakukannya. Matanya berkaca kaca, entah bagaimana Nanda mampu bertingkah
sejauh itu.
"Nanda, kakek tidak akan menaruh sesajen di sana
lagi, sebab itu bukan teradisi yang baik, dan tidak di perbolehkan oleh
agama". Kakek menjelaskan.
Seakan perasaan yang tak ada
gunanya lagi. Seorang tua yang sudah bosan dengan pekerjaan rutinnya. Malam
terus beranjak. Purnama yang melingkar di langit Majidi tampak redup dengan kepulan
awan yang pelan pelan menebal. Bagaimanakah perasaan seonggok pohon tua itu,
ketika tak ada sesajen dan bau kemenyan semenjak beberapa bulan terakhir. Nanda
di kabarkan menghilang. Suara tangisan terus menerus terdengar setiap malam
tanggal 15 bulan purnama. Anak anak di majidi semakin hari semakin tak ada yang
mengaji. Kakek Saleh hanya mampu merasakan kejenuhan yang entah seperti apa.
Mungkin ia menyesali tingkahnya sendiri, sehingga malam malamnya ia habiskan
dengan shalat sunnat dan do'a. Dan pudarnya teradisi mencari jangkrik dan bebobok.
Majidi seperti sebuah tempat yang tak berpenghuni ketika malam tanggal 15. Bukan
itu saja. Bahkan hampir setiap malamnya. Namun purnama begitu indah memancarkan
cahayanya. Pemandangan yang bisa dibawa ceritanya hingga ke penjuru kota
sekalipun, dan orang akan menganggap seseorang bermimpi jika menceritakan hal
itu.
Di majidi.
Desa kecil yang masih di selimuti kabut tipis jika sore turun. Seorang anak
kecil terduduk memangku tangannya di tangga surau menunggu kedatangan kakek
saleh. Senja belum berakhir. Kakek saleh juga belum datang. Ia hanya duduk,
duduk saja, hanya itu. Sampai akhirnya terlihat dari kejauhan sosok seorang tua
mengayuh sepeda ke arahnya. Dan guratan guratan senyum mulai terlihat di wajah
gadis kecil itu. Namaya Asfar, murid baru Sakek Saleh.
"Kakek...!!!". Teriak Asfar
riang.
Sementara jam terpojok ke angka
enam. Azan belum juga dikumandangkan. Burung burung terbang ke sarang masing
masing setelah seharian mencari makan. Warna langit yang kemerah merahan dan
awan tipis yang saling tindih. Begitu indah pemandangan sore di majidi.
Beberapa saat kemudian terdengar suara azan dari corong yang berada di puncak
masjid. Yang selalu di kumandangkan setiap tiba waktu shalat. Dan berakhir.
Menandakan shalat sudah bisa di kerjakan. Sementara Asfar berdiri di belakang Kakek
saleh mengenakan mukna berwarna putih biru, warna kesukaannya. Sebentar
merunduk, lalu sujud, kemudian berdiri lagi. Itu saja. Sampai keduanya
menengok ke kanan dan kiri hampir
bersamaan. Kemudian mereka menengadahkan tangan mereka dan bermunajat kepada Allah,
entah apa do’a mereka. Dan berakhir.
"Kakek, pulang mengajinya
agak pagian, begitu pesan ibu". Asfar mengawali pembicaraan.
"Kalau begitu, pulanglah
segera".
"Tapi Asfar belum belajar
mengaji".
"Pulanglah, meskipun begitu".
"Tapi ini sudah gelap, aku
tidak berani pulang sendiri".
"Jam delapan akan terdengar
tangisan dari balik pohon, dan aku tidak ingin kamu mendengarnya".
Tangisan lagi. Seperti cerita
yang luar biasa menakjubkan. Tangisan yang membuat anak anak majidi tak lagi
belajar mengaji. Tetapi asfar dan kakek
masih mengaji. Suara tangisan belum juga terdengar. Hanya desir angin yang menyapu
dedaunan kering di halaman surau. Tiba tiba terdengar suara perempuan.
"Assalamualaikum".
"waalaikumussalam".
Jawab Kakek.
"Kakek, ini Aton bawakan
makanan buat kakek". Ujar perempuan itu sambil menaiki tangga lalu duduk
di dekat mereka.
"Wah..., jadi ngerepotin.
Terimakasih banyak". Dengan muka kemerah merahan.
"Iya,
sama sama, ini malam pertama Asfar mengaji. Mulanya saya yang pesan Asfar untuk
pulang mengajinya dipercepat. Tapi tidak enak saja
rasanya jika membiarkan ia pulang sendirian".
Tak lama berselang tiba tiba
kakek merasakan hal yang aneh. Dan ini adalah yang biasa terjadi padanya. Tidak
dengan Asfar dan ibunya. Angin menyapu dedaunan kering di halaman, dan
suara tangisan perempuan dari balik
pohon terdengar lagi. Membuat mereka ketakutan. Tapi tidak bagi Kakek Saleh. Ia
seakan memiliki kekuatan magis yang sanggup menaklukan seantereo penjuru kota
sekalipun. Kakek saleh terus berusaha menenangkan mereka. Tak ada sedikitpun
tergambar kepanikan diwajah kakek saleh.Tangisan asfar meledak. Air matanya tak
mampu terbendung oleh kelopak kecil mata yang indah itu.
"Tenaglah,
ini sudah biasa terjadi setiap bulan purnama, nanti berhenti sendiri".
Sambung Kakek Saleh. Air mata Asfar tak
berhenti mengucur. Tangannya semakin erat mendekap tubuh ibunya.
"Tenanglah, nak. Tidak perlu
takut. Yang perlu kita takuti hanyalah Allah saja, tidak ada yang lain".
Ibunya mencoba menenangkan Asfar, padahal ia juga begitu takut.
Akhirnya kakek Saleh memberanikan
diri untuk turun dari surau dan melihat
secara langsung sumber tangisan itu. Perlahan ia mulai mendekati pohon
beringin. Sesekali mengintip, lalu menutup mata. Dan mengintip lagi.
"Hati-hati, kek..!". Teriak Asfar dari dalam surau. Kakek
menganggukan kepala tanda merespon. Sementara warga desa tak satupun terlihat keluar rumah, mereka lebih memilih berdiam
diri dalam rumah dan membesarkan volume tv untuk
mensiasati suara yang sangat menakutkan itu. Kejadian inilah yang membuat desa
majidi seperti tak memiliki penghuni, menjadikannya
seperti kota mati, padahal masih jam delapan tiga puluh. Dan tak sedikitpun Asfar
mengetahui tentang tangisan misterius itu.
Kakek Saleh terus berjalan pelan
ke arah belakang pohon. Dan ia mendapati sesosok perempuan terduduk menekuk
lututnya. Wajahnya belum jelas terlihat. Perempuan itu masih merunduk dan
menangis. Ia hanya mengenakan sarung batik dan baju perempuan biasa, itu saja.
"Hei, siapa kamu...!". Kakek
menegur.
"Kenapa kamu
menangis?". Kakek kembali bertanya setelah lama tak mendapatkan jawaban.
Tiba tiba perempuan itu membalikkan wajahnya ke arah Kakek Saleh.
"Kakek, malam ini tepat lima
belas purnama". Ujar perempuan itu tersedu.
"Nanda....!?". Kakek
terkejut. Rupanya kakek mengenal perempuan itu.
Perempuan yang teramat ia
sayangi, perempuan yang selalu menemaninya melakukan ritual lima belas purnama
di bawah pohon beringin. Begitu mereka menyebutnya.
"Kenapa kamu bisa seperti
ini, Nanda?". Tanya kakek lirih.
"Ini semua gara gara
kakek!". Nanda menyalahkan.
"Kakek tidak pernah lagi
menaruh sesajen, jadi Nanda tidak bisa memberi warga miskin di ujung desa
sana". Sambung Nanda kesal.
"Jadi, sesajen yang selama
ini kita taruh, nanda yang ambil?, lantas Nanda sedekahkan pada warga miskin di
ujung desa?". Kakek memastikan.
"Iya". Ketus Nanda.
"Astagfirullahaladzim.....,
itu bukan cara yang baik. Kakek juga sadar, menaruh sesajen di bawah pohon
seperti itu juga tidak di bolehkan agama. Itu sama saja dengan menyekutukan
Allah. Syirik itu".
Malam masih remang dengan desir
angin yang menyapu dedaunan di halaman surau. Sementara mitos yang di percaya
orang kampung sudah di ketahui asal usulnya. Nanda sudah beranjak dewasa, yang
dulu kecil dan sering membantu menyiapkan sesajen dan tidak lagi melakukan hal
itu. Malam-malam di majidi telah pulih kembali,
tak ada lagi tangisan di bawah pohon. Yang ada hanya sorak sorai anak-anak yang baru pulang mengaji dari surau itu. Teradisi
mencari jangkrik dan maen maen geleng[4] terus meramaikan malam
di desa itu. Dan malam ini desa itu kembali bermandi cahaya bulan bundar dari
langit. Malam seakan menjadi pemandangan paling indah dalam hidup. Kakek masih
mengajar di surau.
"jadilah diri kalian sendiri, tetap ikhlas dan istiqomah”.
Selasa, 19 november 2013
21:00 wita
No comments:
Post a Comment