PENGUMUMAN PENTING

VISI: Pada tahun 2025 akan menjadi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dalam menghasilkan sarjana yang profesional, menguasai IPTEKS, dan bermanfaat bagi masyarakat yang dilandasi oleh nilai-nilai iman dan takwa

Tuesday, 7 June 2016

LIMA BELAS PURNAMA



CERPEN
Oleh:
Mahmud Yasin
Ilustrasi gambard diambil dari:https://id.crowdvoice.com/posts/efek-bulan-purnama-2bdk


Malam masih remang. Cahaya bulan bundar masih tetap memancar di Majidi. Desa kecil di pinggir kota selong, Lombok Timur. Langit yang menjadi saksi bisu atas kehidupan yang penuh semangat tanpa akhir. Juga kasih sayang para ibu-ibu yang tak pernah tuntas kepada anaknya yang belajar mengaji setiap selesai shalat magrib.  
Pesona bukit Mungki Raya yang terbelah menjadi dua bayangan. Sekelompok kelelawar yang melintas, serupa bayangan yang tak jelas mengitari pepohonan di kebun milik para petani di Majidi, begitu banyak cerita di sand. Mulai dari bebobok[1] hingga senandung jangkrik yang membuat anak-anak desa tetangga berhamburan di Majidi, berpendar cahaya senter-senter kecil, kemudian jinjitan kaki seperti citah yang akan menerkam mangsanya. Belum lagi dengan sorak sorai anak anak yang baru pulang mengaji dari surau kecil di bawah pohon beringin yang besar di ujung desa. Dan ceritanya akan lebih panjang jika bertanya pada Kakek Saleh penjaga surau kecil itu.
Mitos yang ada di desa itu, akan ada suara tangisan setiap purnama tanggal 15, dimana desa itu bermandikan cahaya. Dan kakek Saleh akan menyediakan sesajen yang di kumpulkan dari warga sekitar untuk di tempatkan di bawah pohon beringin yang nantinya akan menghilang dengan tiba tiba. Isinya hanya beras yang di taruh di atas panci berukuran sedang, ayam yang sudah di bakar, kunyit, daun lekok[2], buak[3], uang logam, dan beberapa lembar uang kertas lima ribuan, lalu membakar kemenyan. Kakek saleh selalu melakukan ritual itu dengan rutin.
"Yang membangun surau ini adalah sepasang suami istri yang saling menyayangi, tapi mereka tak pernah di karuniai anak sepanjang hayat mereka. Suatu saat, ketika hendak melakukan shalat subuh, warga sekitar menemukan mereka dalam keadaan tak bernyawa. Tak ada satupun warga yang mengetahui penyebab kematian mereka." Cerita kakek panjang lebar pada Nanda. Murid yang satu-satunya belajar mengaji padanya hingga sekarang.
Malam ini tepat tanggal 15 bulan purnama. Bulan di langit majidi semakin congkak dengan sinarnya, angin berhembus menerbangkan dedaunan kering di halaman surau. Kakek Saleh terduduk di tangga surau yang hanya tiga biji dan lebarnya satu meter, itu saja. Kakek masih melamun, dedaunan kering yang tertiup angin seakan berbisik, entah menggunakan bahasa apa, yang jelas manusia tidak akan mengerti meski seperti suara bisikan. Hingga Nanda menegurnya.
"Kakek ngelamunin apaan, sih?" Kakek saleh hanya membalasnya dengan muka masam."kakek...!"  ketus gadis kecil berjilbab itu. Mungkin ia kesal dengan jawaban kakek yang hanya dengan muka masam.
Nanda masih berdiri di depan pohon beringin dan memandanginya keatas lalu kebawah. Ia seperti bercakap antara sesama batin. Apakah pohon memiliki batin ?. Tapi Nanda masih melakukannya. Matanya berkaca kaca, entah bagaimana Nanda mampu bertingkah sejauh itu.
"Nanda, kakek tidak akan menaruh sesajen di sana lagi, sebab itu bukan teradisi yang baik, dan tidak di perbolehkan oleh agama". Kakek menjelaskan.
Seakan perasaan yang tak ada gunanya lagi. Seorang tua yang sudah bosan dengan pekerjaan rutinnya. Malam terus beranjak. Purnama yang melingkar di langit Majidi tampak redup dengan kepulan awan yang pelan pelan menebal. Bagaimanakah perasaan seonggok pohon tua itu, ketika tak ada sesajen dan bau kemenyan semenjak beberapa bulan terakhir. Nanda di kabarkan menghilang. Suara tangisan terus menerus terdengar setiap malam tanggal 15 bulan purnama. Anak anak di majidi semakin hari semakin tak ada yang mengaji. Kakek Saleh hanya mampu merasakan kejenuhan yang entah seperti apa. Mungkin ia menyesali tingkahnya sendiri, sehingga malam malamnya ia habiskan dengan shalat sunnat dan do'a. Dan pudarnya teradisi mencari jangkrik dan bebobok. Majidi seperti sebuah tempat yang tak berpenghuni ketika malam tanggal 15. Bukan itu saja. Bahkan hampir setiap malamnya. Namun purnama begitu indah memancarkan cahayanya. Pemandangan yang bisa dibawa ceritanya hingga ke penjuru kota sekalipun, dan orang akan menganggap seseorang bermimpi jika menceritakan hal itu.
         Di majidi. Desa kecil yang masih di selimuti kabut tipis jika sore turun. Seorang anak kecil terduduk memangku tangannya di tangga surau menunggu kedatangan kakek saleh. Senja belum berakhir. Kakek saleh juga belum datang. Ia hanya duduk, duduk saja, hanya itu. Sampai akhirnya terlihat dari kejauhan sosok seorang tua mengayuh sepeda ke arahnya. Dan guratan guratan senyum mulai terlihat di wajah gadis kecil itu. Namaya Asfar, murid baru Sakek Saleh.
"Kakek...!!!". Teriak Asfar riang.
Sementara jam terpojok ke angka enam. Azan belum juga dikumandangkan. Burung burung terbang ke sarang masing masing setelah seharian mencari makan. Warna langit yang kemerah merahan dan awan tipis yang saling tindih. Begitu indah pemandangan sore di majidi. Beberapa saat kemudian terdengar suara azan dari corong yang berada di puncak masjid. Yang selalu di kumandangkan setiap tiba waktu shalat. Dan berakhir. Menandakan shalat sudah bisa di kerjakan. Sementara Asfar berdiri di belakang Kakek saleh mengenakan mukna berwarna putih biru, warna kesukaannya. Sebentar merunduk, lalu sujud, kemudian berdiri lagi. Itu saja. Sampai keduanya menengok  ke kanan dan kiri hampir bersamaan. Kemudian mereka menengadahkan tangan mereka dan bermunajat kepada Allah, entah apa do’a mereka. Dan berakhir.
"Kakek, pulang mengajinya agak pagian, begitu pesan ibu". Asfar mengawali pembicaraan.
"Kalau begitu, pulanglah segera".
"Tapi Asfar belum belajar mengaji".
"Pulanglah,  meskipun begitu".
"Tapi ini sudah gelap, aku tidak berani pulang sendiri".
"Jam delapan akan terdengar tangisan dari balik pohon, dan aku tidak ingin kamu mendengarnya".
Tangisan lagi. Seperti cerita yang luar biasa menakjubkan. Tangisan yang membuat anak anak majidi tak lagi belajar mengaji. Tetapi  asfar dan kakek masih mengaji. Suara tangisan belum juga terdengar. Hanya desir angin yang menyapu dedaunan kering di halaman surau. Tiba tiba terdengar suara perempuan.
"Assalamualaikum".
"waalaikumussalam". Jawab Kakek.
"Kakek, ini Aton bawakan makanan buat kakek". Ujar perempuan itu sambil menaiki tangga lalu duduk di dekat mereka.
"Wah..., jadi ngerepotin. Terimakasih banyak". Dengan muka kemerah merahan.
"Iya, sama sama, ini malam pertama Asfar mengaji. Mulanya saya yang pesan Asfar untuk pulang mengajinya dipercepat. Tapi tidak enak saja rasanya jika membiarkan ia pulang sendirian".
Tak lama berselang tiba tiba kakek merasakan hal yang aneh. Dan ini adalah yang biasa terjadi padanya. Tidak dengan Asfar dan ibunya. Angin menyapu dedaunan kering di halaman, dan suara  tangisan perempuan dari balik pohon terdengar lagi. Membuat mereka ketakutan. Tapi tidak bagi Kakek Saleh. Ia seakan memiliki kekuatan magis yang sanggup menaklukan seantereo penjuru kota sekalipun. Kakek saleh terus berusaha menenangkan mereka. Tak ada sedikitpun tergambar kepanikan diwajah kakek saleh.Tangisan asfar meledak. Air matanya tak mampu terbendung oleh kelopak kecil mata yang indah itu.
"Tenaglah, ini sudah biasa terjadi setiap bulan purnama, nanti berhenti sendiri". Sambung Kakek Saleh. Air mata  Asfar tak berhenti mengucur. Tangannya semakin erat mendekap tubuh ibunya.
"Tenanglah, nak. Tidak perlu takut. Yang perlu kita takuti hanyalah Allah saja, tidak ada yang lain". Ibunya mencoba menenangkan Asfar, padahal ia juga begitu takut.
Akhirnya kakek Saleh memberanikan diri untuk turun dari surau dan melihat  secara langsung sumber tangisan itu. Perlahan ia mulai mendekati pohon beringin. Sesekali mengintip, lalu menutup mata. Dan mengintip lagi.
"Hati-hati, kek..!". Teriak Asfar dari dalam surau. Kakek menganggukan kepala tanda merespon. Sementara warga desa tak satupun terlihat keluar rumah, mereka lebih memilih berdiam diri dalam rumah dan membesarkan volume tv untuk mensiasati suara yang sangat menakutkan itu. Kejadian inilah yang membuat desa majidi seperti tak memiliki penghuni, menjadikannya seperti kota mati, padahal masih jam delapan tiga puluh. Dan tak sedikitpun Asfar mengetahui tentang tangisan misterius itu.
Kakek Saleh terus berjalan pelan ke arah belakang pohon. Dan ia mendapati sesosok perempuan terduduk menekuk lututnya. Wajahnya belum jelas terlihat. Perempuan itu masih merunduk dan menangis. Ia hanya mengenakan sarung batik dan baju perempuan biasa, itu saja.
"Hei, siapa kamu...!". Kakek menegur.
"Kenapa kamu menangis?". Kakek kembali bertanya setelah lama tak mendapatkan jawaban. Tiba tiba perempuan itu membalikkan wajahnya ke arah Kakek Saleh.
"Kakek, malam ini tepat lima belas purnama". Ujar perempuan itu tersedu.
"Nanda....!?". Kakek terkejut. Rupanya kakek mengenal perempuan itu.
Perempuan yang teramat ia sayangi, perempuan yang selalu menemaninya melakukan ritual lima belas purnama di bawah pohon beringin. Begitu mereka menyebutnya.
"Kenapa kamu bisa seperti ini, Nanda?". Tanya kakek lirih.
"Ini semua gara gara kakek!". Nanda menyalahkan.
"Kakek tidak pernah lagi menaruh sesajen, jadi Nanda tidak bisa memberi warga miskin di ujung desa sana". Sambung Nanda kesal.
"Jadi, sesajen yang selama ini kita taruh, nanda yang ambil?, lantas Nanda sedekahkan pada warga miskin di ujung desa?". Kakek memastikan.
"Iya". Ketus Nanda.
"Astagfirullahaladzim....., itu bukan cara yang baik. Kakek juga sadar, menaruh sesajen di bawah pohon seperti itu juga tidak di bolehkan agama. Itu sama saja dengan menyekutukan Allah. Syirik itu".
Malam masih remang dengan desir angin yang menyapu dedaunan di halaman surau. Sementara mitos yang di percaya orang kampung sudah di ketahui asal usulnya. Nanda sudah beranjak dewasa, yang dulu kecil dan sering membantu menyiapkan sesajen dan tidak lagi melakukan hal itu. Malam-malam di majidi telah pulih kembali, tak ada lagi tangisan di bawah pohon. Yang ada hanya sorak sorai anak-anak yang baru pulang mengaji dari surau itu. Teradisi mencari jangkrik dan maen maen geleng[4] terus meramaikan malam di desa itu. Dan malam ini desa itu kembali bermandi cahaya bulan bundar dari langit. Malam seakan menjadi pemandangan paling indah dalam hidup. Kakek masih mengajar di surau.
"jadilah diri kalian sendiri, tetap ikhlas dan istiqomah”.

Selasa, 19 november 2013
            21:00 wita


[1] Bebobok, bahasa sasak. Sekelompok orang yang mencari hewan kecil pada malam hari seperti, belalang, ikan dan lain-lain
[2] Lekok bahasa sasak, daun sirih dalam bahasa Indonesia
[3] Buak, bahasa sasak, Buah pinang dalam bahasa Indonesia
[4] Maen geleng, (bahasa Majidi, Lombok)  sejenis main petak umpet.

No comments:

Post a Comment