PENGUMUMAN PENTING

VISI: Pada tahun 2025 akan menjadi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dalam menghasilkan sarjana yang profesional, menguasai IPTEKS, dan bermanfaat bagi masyarakat yang dilandasi oleh nilai-nilai iman dan takwa

Wednesday, 25 November 2015

CERMINAN BUDAYA DALAM BAHASA DAERAH: SEBAGAI PENANDA IDENTITAS DIRI MASYARAKAT SASAK



Lalu Wirajayadi

Abstrak

Cerminan budaya dalam bahasa daerah merupakan pernyataan bahwa bahasa sangat dipengaruhi oleh kebudayaan, sehingga segala yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di dalam bahasanya, begitu juga sebaliknya. Hal ini memperlihatkan penggunaan bahasa daerah tersebut oleh masyarakat Sasak mencerminan kebudayaan masyarakat tersebut sekaligus memberikan kontribusi untuk mempertahankan identitas diri masyarakat Sasak dalam modernisasi kebudayaan Indonesia. Oleh karena itu, Permasalahan yang hendak diungkapkan dalam penelitian ini, yaitu: bagaimanakah budaya tercermin dalam bahasa daerah dan penggunaan bahasa daerah sebagai penanda identitas diri masyarakat Sasak? Adapun penelitian ini bertujuan untuk memberikan deskripsi mengenai budaya tercermin dalam bahasa daerah dan penggunaan bahasa daerah sebagai penanda identitas diri masyarakat Sasak. Jenis penelitian adalah deskriptif kualitatif. Data penelitian ini adalah fenomena kehidupan bermasyarakat yang masih dilakukan dalam kegiatan tertentu oleh masyarakat Sasak. Data dikumpulkan dengan teknik observasi, wawancara dan catat. Sedangkan analisis data dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif. Artinya, teknik yang berusaha menguraikan dan menggambarkan data yang telah dikumpulkan atau ada, kemudian selanjutnya dianalisis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kandungan setiap budaya terungkap dalam bahasanya. Cerminan budaya dalam bahasa daerah itu terlihat pada penggunaan kosa kata, dimana penggunaan bahasa daerah tersebut menandakan identitas diri masyarakat Sasak.
Kata Kunci: Budaya, bahasa daerah, Penggunaan kosa kata, Identitas diri.


THE REFLECTION OF CULTURE IN LOCAL LANGUAGE: AS A SELF-IDENTITY MARKER OF SASAK SOCIETY
Lalu Wirajayadi

ABSTRACT
A reflection of the culture in the local language is the statement that language is strongly influenced by culture, so that everything exists in the culture will be reflected in the language, and vice versa. This shows that the use of local language by the Sasak society reflects the culture of the society and also contributes in maintaining the Sasak community identity in the modernization of Indonesian culture. Therefore, the problem to be revealed in this study is: how culture is reflected in the local language and the use of local language as a self-identity marker of Sasak community? This study aims to provide a description of the culture reflected in the local language and the use of local language as a self-identity marker of Sasak community. The type of this research is descriptive qualitative. The data of this study is the phenomenon of social life that is still practiced in certain activities by the Sasak society. The data were collected by observation, interview and note-taking. While, the data analysis was performed by using descriptive method. That is, a technique that seeks to describe and illustrate the data that has been collected, and then further be analyzed. The results of this study indicate that the content of each culture is revealed in its language. A reflection of the culture in the local language is seen in the use of vocabulary, in which the use of local language indicates the self-identity of Sasak society.
Keywords: Culture, local language, the use of vocabulary, self-identity.

I.    Pendahuluan
Para pakar linguistik sudah banyak mengutarakan gagasan yang menyatakan bahwa kandungan budaya tercermin dalam bahasa. Salah satunya adalah Edward Sapir (dalam Blount, 1974) mengatakan bahwa kandungan setiap budaya terungkap dalam bahasanya. Bahkan ada istilah yang menyatakan dengan bahasa kita bisa mengetahui budaya orang lain. Artinya, bahwa bahasa merupakan suatu produk budaya suatu bangsa. Ditinjau dari segi kebudayaan, bahasa adalah wujud dari kebudayaan, sebagai tempat dan refleksi kebudayaan masyarakat pemiliknya yang memperlihatkan seberapa tinggi tingkat kebudayaan suatu bangsa. Dalam hal ini, dimana kebudayaan itu hanya dimiliki manunsia dan tumbuh bersama berkembangnya masyarakat manunsia itu sendiri.
Masyarakat Sasak merupakan etnis mayoritas penghuni pulau Lombok, hampir keseluruhan penduduk suku Sasak menggunakan bahasa Sasak (bahasa daerah) sebagai bahasa utama berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Sementara kalau kita perhatikan secara langsung, bahasa Sasak yang berkembang di Lombok ternyata sangat beragam, baik dialek (cara pengucapan) maupun kosa katanya. Ini sangat unik dan bisa menunjukkan banyaknya pengaruh dalam perkembangannya. Namun demikian, Sekalipun etnis mayoritas, dalam penggunaan bahasa menekankan pada sifat “beda” sebagai bentuk pemertahanan diri dari paradigma atau pemahaman tentang budaya yang lebih mengarah ke arah modernisasi praktik-praktik budaya, religius dan linguistik yang membedakan mereka dari norma kewajaran. Misalnya, adat istiadat suku Sasak yang dapat disaksikan pada saat begawe (acara pada saat proses pernikahan), merarik atau selarian (cara mengambil pengantin perempuan), mesejati (pemberitahuan kepada keluarga perempuan), dan nyelabar (kesepakatan mengenai biaya pernikahan).
Penggunaan bahasa asli (bahasa daerah) yaitu pada kata begawe, merarik atau selarian, mesejati, dan nyelabar merupakan kekayaan kosa kata bahasa Sasak, dalam kaitanya dengan hal-hal lain juga merupakan sebagai penanda identitas diri masyarakat Sasak. Suku Sasak dengan keanekaragaman budaya, baik dari segi adat istiadat yang digunakan maupun dari hal kesenian, yang mana mempunyai keunikan tersendiri di dalamnya. Hal-hal tersebut merupakan salah satu bukti daripada kekayaan budaya Indonesia. Kekayaan budaya dan istilah yang bersangkut paut dengan semacam proses pernikahan atau resepsi antara pihak laki-laki dan perempuan seperti itu tidak terdapat pada kebanyakan budaya dan bahasa lain yang karena pada daerah lain hanya mengenal budaya atau istilah resepsi perkawinan atau tidak memiliki budaya tersebut.
Saling pengaruh yang dinamis itu tidak hanya terjadi antara bahasa dan pikiran, melainkan juga antara bahasa dan adat, antara bahasa dan perilaku etnis, dan antara bahasa perubahan-perubahan yang terjadi dalam budaya. Begitu kuat pengaruh budaya itu terhadap bahasa, sehingga kekayaan atau kemiskinan suatu budaya tercermin dalam bahasanya. Cerminan budaya dalam bahasa daerah merupakan pernyataan bahwa bahasa sangat dipengaruhi oleh kebudayaan, sehingga segala yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di dalam bahasanya, begitu juga sebaliknya. Hal ini memperlihatkan cerminan budaya dalam bahasa itu tidak hanya terbatas pada tingkat kosa kata atau penggunaan bahasa daerah tersebut oleh masyarakat Sasak seperti yang ditunjukkan di atas. Namun, sekaligus memberikan kontribusi untuk mempertahankan identitas diri masyarakat Sasak dalam modernisasi kebudayaan Indonesia.
Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang hendak diungkapkan dalam penelitian ini, yaitu;
1.      Bagaimanakah budaya tercermin dalam bahasa daerah ?
2.      Bagaimana penggunaan bahasa daerah sebagai penanda identitas diri masyarakat Sasak ?
Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini antara lain:
1.      Penelitian ini untuk memberikan deskripsi mengenai budaya tercermin dalam bahasa daerah,; dan
2.      Deskripsi penggunaan bahasa daerah sebagai penanda identitas diri masyarakat Sasak.

II. Metodologi dan Landasan Teori
1.      Metodologi
Jenis penelitian adalah deskriptif kualitatif. Data penelitian ini adalah fenomena kehidupan bermasyarakat yang masih dilakukan dalam kegiatan tertentu oleh masyarakat Sasak. Data penelitian dikumpulkan dengan teknik observasi, wawancara dan catat. Jadi, dengan teknik pengumpulan data seperti itu, peneliti dalam mengumpulkan data akan memudahkan dalam pendeskripsian. Sedangkan analisis data dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif. Artinya, teknik yang berusaha menguraikan dan menggambarkan data yang telah dikumpulkan atau ada, kemudian selanjutnya dianalisis.
Hasil analisis dalam mendeskripsikan fenomena kehidupan masyarakat Sasak  dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kandungan setiap budaya terungkap dalam bahasanya. Cerminan budaya dalam bahasa daerah itu terlihat pada penggunaan kosa kata, dimana penggunaan bahasa daerah tersebut menandakan identitas diri masyarakat Sasak.

2.      Landasan Teori
2.1  Kebudayaan
Berbagai definisi terkait kebudayaan, Kroeber dan Kluckhom (1952) (dalam Chaer, 2010: 162) mengelompokkan menjadi enam golongan menurut sifat definisi itu, yakni 1) Definisi yang bersifat deskriptif, yakni definisi yang menekankan pada unsur-unsur kebudayaan; 2) Definisi  yang historis,  yakni  definisi  yang  menekankan  bahwa  kebudayaan  itu  diwarisi secara kemasyarakatan; 3) Definisi  normatif,  yakni  definisi  yang  menekankan  hakikat  kebudayaan  sebagai aturan hidup dan tingkah laku; 4)  Definisi  yang psikologis,  yakni  definisi  yang  menekankan  pada  kegunaan  kebudayaan dalam penyesuaian diri kepada lingkungan, pemecahan persoalan, dan belajar hidup; 5) Definisi yang struktural, yakni definisi yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu sistem yang berpola dan teratur; 6) Definisi  yang genetik,  yakni  definisi  yang  menekankan  pada  terjadinya  kebudayaan sebagai hasil karya manusia.
Sementara, Wilson (dalam Siberani, 1992: 99) mengatakan bahwa kebudayaan adalah pengetahuan yang ditransmisi dan disebarkan secara sosial, baik bersifat eksistensi, normative maupun simbolis yang tercermin dalam tingkah laku dan benda-benda hasil karya manunsia. Lihat (Barker, 2004: 69); (Rakhmat dan kawan-kawan, 1997: 292).
Berdasarkan definisi mengenai kebudayaan tersebut memberikan pemahaman bahwa hakikat kebudayaan dipandang sebagai suatu yang khas, tercermin dalam tingkah laku manunsia sebagai hasil karya manunsia itu sendiri.

2.2  Bahasa
Bahasa merupakan alat utama dalam komunikasi yang memiliki daya ekspresi dan informasi yang besar. Bahasa sangat dibutuhkan oleh manunsia karena dengan bahasa manunsia bisa menemukan kebutuhan mereka dengan cara berkomunikasi antara satu dengan lainnya. Sebagai anggota masyarakat yang aktif dalam kehidupan sehari-hari, orang sangat bergantung pada penggunaan bahasa. hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa di mana ada masyarakat di situ ada penggunaan bahasa, degan kata lain di mana aktivitas terjadi, di situ aktivitas bahasa terjadi pula.
Para linguis biasanya memberikan batasan bahasa sebagai suatu sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi serta mengidentifikasikan diri. Slanjutnya, Widjono (2007: 15) juga memberi batasan terkait bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan untuk berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya. Digunakan dalam berbagai lingkungan, tingkatan, dan kepentingan yang beraneka ragam, misalnya komunikasi ilmiah, bisnis, kerja, sosial dan budaya.
Arti penting bahasa bagi pemahaman kebudayaan bahwa bahasa adalah media istimewa di mana makna budaya dibagun dan dikomunikasikan; sarana dan media di mana kita membangun pengetahuan tentang diri kita dan tentang dunia sosial.

2.3  Hubungan Bahasa dan Kebudayaan
Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Jadi, hubungan antara bahasa dengan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, di mana bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan (Chaer, 2010: 165). Lebih lanjut, Sapir dan Whorf mengatakan bahwa bahasa bukan hanya menentukan corak budaya, tetapi juga menentukan cara dan pikiran manusia. Oleh karena itu, mempengaruhi juga tindak lakunya. Dengan kata lain, suatu bangsa yang berbeda bahasanya dari bahasa yang lain, akan mempunyai corak budaya dan jalan pikiran yang berbeda pula. Dalam teori  dan praktek ilmu liguistik, bahasa sebagai objek penelitian dianggap sebagai suatu sistem otonom yang berdiri sendiri dengan ciri atau  aturannya yang tersendiri. Perlakuan bahasa seperti ini menghasilkan suatu  gambaran bahwa bahasa itu memang terwujud sebagai sesuatu dengan kehidupan  sendiri yang tunduk kepada hukum-hukum sendiri.
Oleh karena itu bahasa dan kebudayaan pada satu pihak dianggap terdapat  semacam oposisi dan pada pihak  yang lain bahasa itu adalah suatu peristiwa kebudayaan pula, timbullah persoalan kebudayaan. Keraguan-keraguan akan  bentuk  dan sifat pertalian itu  tercermin pada ungkapan-ungkapan  dan  masyarakat ,”Bahasa sebagai aspek kebudayaan”, Bahasa sebagai Cermin  Kebudayaan”. Bagaimana persisnya jenis-jenis pertalian itu  harus dipahami atau  diartikan  berbeda menurut disiplin yang bersangkutan.
Jadi, dari sudut pengetahuan ilmu liguistik  pertalian itu lebih banyak mengenai  komponan semantik, yaitu pola  yang tampak  pada makna kata-kata, hubungan antara kata dan benda dan kejadian yang seakan-akan berada diluar bahasa, sedangkan dari sudut pengeliihatan antropologi pertalian itu ditentukan atas dasar anggapan bahwa bahasa itu merupakan suatu pranata sebagaimana halnya sistem kekerabatan, misalnya suatu pranata bagaimana halnya sistem kedududkan bahasa diberikan sedemikian rupa, baik ilmu liguistik maupun atropolgi lebih banyak menyibukkan diri dengan persoalan- persoalan yang menurut anggapannya masing-masing budaya suatu komunitas.
Teori-teori yang telah dikembangkan untuk menjelaskan bagaiman sebenarnya bentuk dan sifat pertalian antara bahasa dan kebudayaan itu  digolongan menurut dua golongan berikut. Pertama, Teori yang berpangkal tolak pada bahasa: 1) stuktural yang yang ditemukan dalam bahasa dianggap berlaku pula bagi aspek-aspek kebudayaan lainya; 2) bahasa dianggap sebagai penentu utama pertalianya dengan kebudayaan. Kedua, Teori yang berpangkal tolak pada kebudayaan. Dalam hubungan ini, pertalianya dilihat sebagai konfigurasi faktor-foktor sosial budaya yang memberikan corak  terhadap kedudukan, peranan, dan penggunaan bahasa.

III. Pembahasan
1.      Cerminan Budaya dalam Bahasa Daerah
Merunjuk pada teori Sapir-Whorf, dalam pembentukan bahasa juga lahir dari pola pikir manusia, teori tersebut dapat dibenarkan. Lantas, apa saja yang dapat disebutkan bahasa mempengaruhi budaya, sedangkan ketiadaan budaya di suatu daerah telah menyebabkan ketiadaan kosa kata untuk mengutarakan budaya atau yang mewakili budaya tersebut. Hal ini jelas memperlihatan bahwa tidak selamanya bahasa itu mempengaruhi budaya. Namun ada kalanya budaya mempengaruhi bahasa. Menjadi wajar manakala dalam kajian bahasa dan kebudayaan itu bisa disebut dengan Hipotesa Sapir-Whorf masih dipertanyakan saat ini. Bahkan dalam tindakan sehari-hari, kebanyakan budaya lebih dahulu ada dibanding bahasa. Misalnya suku Sasak dalam adat istiadat resepsi perkawinan, yaitu dimana perempuan apabila mereka mau dinikahi oleh seorang laki-laki maka yang perempuan harus dilarikan dulu kerumah keluarganya dari pihak laki-laki, ini yang dikenal dengan sebutan merarik atau selarian.
Budaya selarian dalam suku Sasak tidak akan ada namanya apabila yang ada adalah lamaran, namun setelah budaya tersebut tercipta dan menjadi kebiasaan masyarakat suku Sasak dalam setiap kegiatan mau menikahi seorang perempuan, barulah kemudian muncul nama (bahasa) untuk menyebutkan istilah tersebut. Contoh lain suatu kata, ungkapan atau konsep yang ada dalam bahasa suatu kebudayaan belum tentu mempunyai padanan yang sesuai dengan bahasa kebudayaan lain. Karena itu Jika ingin membicarakan suatu konsep dari kebudayaan lain kita sering menggunakan istilah dalam bahasa aslinya (bahasa daerah) untk mengungkapkan konsp tersebut, sebab jika kata itu diterjemahkan sering artinya terlalu jauh dari apa yang diungkapkan. Inilah mengapa kadang-kadang bahasa memakai suatu kata atau istilah bahasa lain dalam menyatakan sesuatu.
Bahasa merupakan medium paling penting bagi semua interaksi manunsia dan dalam banyak hal bahasa dapat disebut sebagai intisari dari fenomena sosial. Bahasa sebagaimana yang dikatakan oleh ahli, tanpa adanya bahasa tidak akan mungkin terbentuknya masyarakat dan tidak akan ada kegiatan dalam masyarakat selain dari kegiatan yang didorong oleh naluri saja. Bahasa merupakan satu peranata sosial yang setiap orang harus menguasainya agar dapat berfungsi di dalam daerah yang bersifat kehidupan sosial. Bahasa merupakan alat yang penting dalam berkomunikasi, akan tetapi bahasa bukan hanya alat komunikasi, bahasa juga alat dari pengalaman perasaan secara kolektif. Manunsia menciptakan kebudayaan dan peradaban ini hanya bisa terjadi Karena manunsia mempunyai bahasa dan menggunakannya dalam kehidupan.

2.      Penggunaan Bahasa (Bahasa Daerah) Sebagai Penanda Identitas Diri Masyarakat Sasak
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, bahwa saling pengaruh yang dinamis tidak hanya terjadi antara bahasa dan pikiran, melainkan juga antara bahasa dan adat, antara bahasa dan perilaku etnis, dan anatara bahasa perubahan-perubahan yang terjadi dalam budaya. Sedemikian kuat pengaruh budaya itu terhadap bahasa (bahasa daerah) atau bahasa asli, sehingga kekayaan atau kemiskinan suatu budaya tercermin dalam bahasanya. Adat istiadat suku sasak dapat di saksikan pada saat resepsi perkawinan, dimana perempuan apabila mereka mau dinikahki oleh seorang lelaki maka yang perempuan harus dilarikan dulu kerumah keluarganya dari pihak laki laki, ini yang dikenal dengan sebutan "merarik" atau "selarian".
Hal trsebut dapat terlihat pada kekayaan kosa kata bahasa Sasak dalam kaitanya dengan merarik (menikah); Begawe (acara pada saat proses pernikahan), Mesejati (pemberitahuan kepada keluarga perempuan), Nyelabar (kesepakatan mengenai biaya pernikahan), Sorong-serah (kegiatan adat yang dihadiri masyarakat kedua belah pihak), Petok doe (penyelesaian adat terkait bawaan dari pihak keluarga laki-laki), Nyogkol (arak-arakan pengantin laki dan perempuan), Nyorong (utusan dari pihak keluarga laki-laki), Ngadep (utusan dari pihak keluarga perempuan), Begendang beleq (musik tradisional Sasak untuk mengiringi pengantin). Begitu juga dengan kebutuhan yang selalu ada dalam acara begawe seperti kosa kata nyiur (kelapa); Miqe (topi yang terbuat dari daun kelapa kering), Kise (tempat ayam yang terbuat dari daun kelapa), Kelansah (anyaman daun kelapa sebagai pengganti terop), Ekue (pucuk tunas kelapa yang berwarna putih dan dapat dimakan), Nyeleng (kelapa yang sudah tua dibuat sebagai bahan minyak goring)
Kekayaan istilah atau kosa kata seperti hal-hal tersebut di atas merupakan kekayaan budaya dan bahasa yang bersangkut paut dengan adat istiadat, benda dan kesenian masyarakat Sasak, yang kebanyakan budaya dan bahasa lain tidak terdapat karena tidak mengenal kata begawe tetapi cukup dengan kata resepsi pernikahan dan atau pada daerah tertentu tidak terdapat banyak pohon nyiur (kelapa).
Uraian di atas menunjukkan bahwa budaya tercermin dalam bahasanya (bahasa daerah). Cerminan budaya dalam bahasa itu tidak hanya terlihat pada tingkat kosa kata seperti yang ditunjukkan di atas. Hal ini juga memperlihatkan penggunaan bahasa daerah oleh masyarakat Sasak mencerminan kebudayaan masyarakat tersebut sekaligus memberikan kontribusi untuk mempertahankan identitas diri masyarakat Sasak dalam modernisasi kebudayaan Indonesia. Artinya, salah satu cara dalam mempertahankan identitas sosial dan masyarakat adalah lewat cara menggunakan bahasa yang tercermin dalam budaya kita.

IV. Penutup
1.      Simpulan
Etnis Sasak merupakan etnis mayoritas penghuni pulau Lombok, suku Sasak merupakan etnis utama yang hampir keseluruhan penduduknya berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan bahasa Sasak. Suku Sasak juga mempunyai keanekaragaman budaya, baik dari segi adat istiadat yang digunakan yang mempunyai keunikan tersendiri di dalamnya. Hal-hal tersebut merupakan salah satu  bukti daripada kekayaan budaya Indonesia.
Seperti yang kita ketahui, fungsi bahasa bukan hanya sebatas alat penyampai pesan semata, tetapi bahasa juga merupakan alat berfikir, alat bernalar, alat berasa, dan bahkan alat berbudaya. Dengan demikian, budaya suatu daerah sesungguhnya akan mencerminkan bahasanya. Artinya pula, bahasa (bahasa daerah) yang digunakan hampir keseluruhan penduduk suku Sasak sesungguhnya dapat dijadikan sebagai penanda identitas diri suatu masyarakat Sasak itu sendiri karena kebanyakan budaya dan bahasa lain tidak memiliki adat istiadat atau kosa kata untuk mengungkapkan hal tersebut.

No comments:

Post a Comment