Lalu Wirajayadi
Abstrak
Cerminan budaya dalam
bahasa daerah merupakan pernyataan bahwa bahasa sangat dipengaruhi oleh
kebudayaan, sehingga segala yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di dalam
bahasanya, begitu juga sebaliknya. Hal ini memperlihatkan penggunaan bahasa
daerah tersebut oleh masyarakat Sasak mencerminan kebudayaan masyarakat tersebut
sekaligus memberikan kontribusi untuk mempertahankan identitas diri masyarakat
Sasak dalam modernisasi kebudayaan Indonesia. Oleh karena itu, Permasalahan
yang hendak diungkapkan dalam penelitian ini, yaitu: bagaimanakah budaya
tercermin dalam bahasa daerah dan penggunaan bahasa daerah sebagai penanda
identitas diri masyarakat Sasak? Adapun penelitian ini bertujuan untuk memberikan
deskripsi mengenai budaya tercermin dalam bahasa daerah dan penggunaan bahasa
daerah sebagai penanda identitas diri masyarakat Sasak. Jenis penelitian adalah
deskriptif kualitatif. Data penelitian ini adalah fenomena kehidupan
bermasyarakat yang masih dilakukan dalam kegiatan tertentu oleh masyarakat
Sasak. Data dikumpulkan dengan teknik observasi, wawancara dan catat. Sedangkan
analisis data dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif. Artinya, teknik
yang berusaha menguraikan dan menggambarkan data yang telah dikumpulkan atau
ada, kemudian selanjutnya dianalisis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kandungan
setiap budaya terungkap dalam bahasanya. Cerminan budaya dalam bahasa daerah
itu terlihat pada penggunaan kosa kata, dimana penggunaan bahasa daerah
tersebut menandakan identitas diri masyarakat Sasak.
Kata
Kunci: Budaya, bahasa daerah, Penggunaan
kosa kata, Identitas diri.
THE
REFLECTION
OF CULTURE IN LOCAL
LANGUAGE: AS A SELF-IDENTITY MARKER OF SASAK SOCIETY
Lalu Wirajayadi
ABSTRACT
A reflection of the culture in the local language is the
statement that language
is strongly influenced by culture, so that everything
exists in the culture will be
reflected in the
language, and vice versa. This shows
that the use of local language by the Sasak
society reflects the culture of
the society and also contributes in
maintaining the Sasak community
identity in the modernization of Indonesian culture. Therefore, the problem to be revealed
in this study is: how culture is reflected in
the local language and the use of local language as a self-identity marker of Sasak community? This study aims
to provide a
description of the culture reflected
in the local language and the use of local
language as a self-identity marker of Sasak community. The
type of this research is descriptive
qualitative. The data of this
study is the phenomenon
of social life that is still practiced in certain activities by the Sasak society. The data were collected by
observation, interview and
note-taking. While, the data
analysis was performed by using
descriptive method. That is, a technique that
seeks to describe and illustrate
the data that has
been collected, and then further be analyzed. The
results of this study indicate
that the content of each culture is revealed in
its language. A reflection of the culture in the local language is seen in the use of
vocabulary, in which the use of local language indicates the self-identity of Sasak society.
Keywords: Culture, local language, the
use of vocabulary, self-identity.
I. Pendahuluan
Para pakar linguistik sudah
banyak mengutarakan gagasan yang menyatakan bahwa kandungan budaya tercermin
dalam bahasa. Salah satunya adalah Edward Sapir (dalam Blount, 1974) mengatakan
bahwa kandungan setiap budaya terungkap dalam bahasanya. Bahkan ada istilah
yang menyatakan dengan bahasa kita bisa mengetahui budaya orang lain. Artinya,
bahwa bahasa merupakan suatu produk budaya suatu bangsa. Ditinjau dari segi
kebudayaan, bahasa adalah wujud dari kebudayaan, sebagai tempat dan refleksi
kebudayaan masyarakat pemiliknya yang memperlihatkan seberapa tinggi tingkat
kebudayaan suatu bangsa. Dalam hal ini, dimana kebudayaan itu hanya dimiliki
manunsia dan tumbuh bersama berkembangnya masyarakat manunsia itu sendiri.
Masyarakat Sasak merupakan etnis
mayoritas penghuni pulau Lombok, hampir keseluruhan penduduk suku Sasak
menggunakan bahasa Sasak (bahasa daerah) sebagai bahasa utama berkomunikasi
dalam kehidupan sehari-hari. Sementara kalau kita perhatikan secara langsung,
bahasa Sasak yang berkembang di Lombok ternyata sangat beragam, baik dialek
(cara pengucapan) maupun kosa katanya. Ini sangat unik dan bisa menunjukkan
banyaknya pengaruh dalam perkembangannya. Namun demikian, Sekalipun etnis
mayoritas, dalam penggunaan bahasa menekankan pada sifat “beda” sebagai bentuk
pemertahanan diri dari paradigma atau pemahaman tentang budaya yang lebih
mengarah ke arah modernisasi praktik-praktik budaya, religius dan linguistik
yang membedakan mereka dari norma kewajaran. Misalnya, adat istiadat suku Sasak
yang dapat disaksikan pada saat begawe (acara
pada saat proses pernikahan), merarik atau
selarian (cara mengambil pengantin
perempuan), mesejati (pemberitahuan
kepada keluarga perempuan), dan nyelabar (kesepakatan
mengenai biaya pernikahan).
Penggunaan bahasa asli (bahasa
daerah) yaitu pada kata begawe, merarik atau
selarian, mesejati, dan nyelabar merupakan kekayaan kosa kata
bahasa Sasak, dalam kaitanya dengan hal-hal lain juga merupakan sebagai penanda
identitas diri masyarakat Sasak. Suku Sasak dengan keanekaragaman budaya, baik
dari segi adat istiadat yang digunakan maupun dari hal kesenian, yang mana
mempunyai keunikan tersendiri di dalamnya. Hal-hal tersebut merupakan salah
satu bukti daripada kekayaan budaya Indonesia. Kekayaan budaya dan istilah yang
bersangkut paut dengan semacam proses pernikahan atau resepsi antara pihak
laki-laki dan perempuan seperti itu tidak terdapat pada kebanyakan budaya dan
bahasa lain yang karena pada daerah lain hanya mengenal budaya atau istilah
resepsi perkawinan atau tidak memiliki budaya tersebut.
Saling pengaruh yang dinamis itu
tidak hanya terjadi antara bahasa dan pikiran, melainkan juga antara bahasa dan
adat, antara bahasa dan perilaku etnis, dan antara bahasa perubahan-perubahan
yang terjadi dalam budaya. Begitu kuat pengaruh budaya itu terhadap bahasa,
sehingga kekayaan atau kemiskinan suatu budaya tercermin dalam bahasanya. Cerminan
budaya dalam bahasa daerah merupakan pernyataan bahwa bahasa sangat dipengaruhi
oleh kebudayaan, sehingga segala yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di
dalam bahasanya, begitu juga sebaliknya. Hal ini memperlihatkan cerminan budaya
dalam bahasa itu tidak hanya terbatas pada tingkat kosa kata atau penggunaan
bahasa daerah tersebut oleh masyarakat Sasak seperti yang ditunjukkan di atas. Namun,
sekaligus memberikan kontribusi untuk mempertahankan identitas diri masyarakat
Sasak dalam modernisasi kebudayaan Indonesia.
Oleh karena itu, berdasarkan uraian
di atas, permasalahan yang hendak diungkapkan dalam penelitian ini, yaitu;
1. Bagaimanakah budaya tercermin
dalam bahasa daerah ?
2. Bagaimana penggunaan bahasa
daerah sebagai penanda identitas diri masyarakat Sasak ?
Adapun
tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini antara lain:
1. Penelitian ini untuk memberikan
deskripsi mengenai budaya tercermin dalam bahasa daerah,; dan
2. Deskripsi penggunaan bahasa daerah
sebagai penanda identitas diri masyarakat Sasak.
II. Metodologi dan Landasan Teori
1. Metodologi
Jenis penelitian
adalah deskriptif kualitatif. Data penelitian ini adalah fenomena kehidupan
bermasyarakat yang masih dilakukan dalam kegiatan tertentu oleh masyarakat
Sasak. Data penelitian dikumpulkan dengan teknik observasi, wawancara dan
catat. Jadi, dengan teknik pengumpulan data seperti itu, peneliti dalam
mengumpulkan data akan memudahkan dalam pendeskripsian. Sedangkan analisis data
dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif. Artinya, teknik yang berusaha
menguraikan dan menggambarkan data yang telah dikumpulkan atau ada, kemudian
selanjutnya dianalisis.
Hasil analisis dalam
mendeskripsikan fenomena kehidupan masyarakat Sasak dalam penelitian ini menunjukkan bahwa
kandungan setiap budaya terungkap dalam bahasanya. Cerminan budaya dalam bahasa
daerah itu terlihat pada penggunaan kosa kata, dimana penggunaan bahasa daerah
tersebut menandakan identitas diri masyarakat Sasak.
2. Landasan Teori
2.1 Kebudayaan
Berbagai definisi terkait
kebudayaan, Kroeber dan Kluckhom (1952) (dalam Chaer, 2010: 162) mengelompokkan
menjadi enam golongan menurut sifat definisi itu, yakni 1) Definisi yang
bersifat deskriptif, yakni definisi yang menekankan pada unsur-unsur kebudayaan;
2) Definisi yang historis, yakni
definisi yang menekankan
bahwa kebudayaan itu
diwarisi secara kemasyarakatan; 3) Definisi normatif,
yakni definisi yang
menekankan hakikat kebudayaan
sebagai aturan hidup dan tingkah laku; 4) Definisi
yang psikologis, yakni definisi
yang menekankan pada
kegunaan kebudayaan dalam
penyesuaian diri kepada lingkungan, pemecahan persoalan, dan belajar hidup; 5)
Definisi yang struktural, yakni definisi yang menekankan sifat kebudayaan
sebagai suatu sistem yang berpola dan teratur; 6) Definisi yang genetik,
yakni definisi yang
menekankan pada terjadinya
kebudayaan sebagai hasil karya manusia.
Sementara, Wilson (dalam
Siberani, 1992: 99) mengatakan bahwa kebudayaan adalah pengetahuan yang
ditransmisi dan disebarkan secara sosial, baik bersifat eksistensi, normative
maupun simbolis yang tercermin dalam tingkah laku dan benda-benda hasil karya
manunsia. Lihat (Barker, 2004: 69); (Rakhmat dan kawan-kawan, 1997: 292).
Berdasarkan definisi mengenai
kebudayaan tersebut memberikan pemahaman bahwa hakikat kebudayaan dipandang
sebagai suatu yang khas, tercermin dalam tingkah laku manunsia sebagai hasil
karya manunsia itu sendiri.
2.2 Bahasa
Bahasa merupakan alat utama dalam
komunikasi yang memiliki daya ekspresi dan informasi yang besar. Bahasa sangat
dibutuhkan oleh manunsia karena dengan bahasa manunsia bisa menemukan kebutuhan
mereka dengan cara berkomunikasi antara satu dengan lainnya. Sebagai anggota
masyarakat yang aktif dalam kehidupan sehari-hari, orang sangat bergantung pada
penggunaan bahasa. hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa di mana ada
masyarakat di situ ada penggunaan bahasa, degan kata lain di mana aktivitas
terjadi, di situ aktivitas bahasa terjadi pula.
Para linguis biasanya memberikan
batasan bahasa sebagai suatu sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang
digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi serta
mengidentifikasikan diri. Slanjutnya, Widjono (2007: 15) juga memberi batasan
terkait bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan untuk
berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya. Digunakan dalam berbagai lingkungan,
tingkatan, dan kepentingan yang beraneka ragam, misalnya komunikasi ilmiah,
bisnis, kerja, sosial dan budaya.
Arti penting bahasa bagi pemahaman
kebudayaan bahwa bahasa adalah media istimewa di mana makna budaya dibagun dan
dikomunikasikan; sarana dan media di mana kita membangun pengetahuan tentang
diri kita dan tentang dunia sosial.
2.3 Hubungan Bahasa dan Kebudayaan
Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan.
Jadi, hubungan antara bahasa dengan kebudayaan merupakan hubungan yang
subordinatif, di mana bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan (Chaer, 2010:
165). Lebih lanjut, Sapir dan Whorf mengatakan bahwa bahasa bukan hanya
menentukan corak budaya, tetapi juga menentukan cara dan pikiran manusia. Oleh
karena itu, mempengaruhi juga tindak lakunya. Dengan kata lain, suatu bangsa
yang berbeda bahasanya dari bahasa yang lain, akan mempunyai corak budaya dan
jalan pikiran yang berbeda pula. Dalam teori dan praktek ilmu liguistik,
bahasa sebagai objek penelitian dianggap sebagai suatu sistem otonom yang
berdiri sendiri dengan ciri atau
aturannya yang tersendiri. Perlakuan bahasa seperti ini menghasilkan
suatu gambaran bahwa bahasa itu memang
terwujud sebagai sesuatu dengan kehidupan
sendiri yang tunduk kepada hukum-hukum sendiri.
Oleh karena itu bahasa dan
kebudayaan pada satu pihak dianggap terdapat
semacam oposisi dan pada pihak yang lain bahasa itu adalah suatu
peristiwa kebudayaan pula, timbullah persoalan kebudayaan. Keraguan-keraguan
akan bentuk dan sifat pertalian
itu tercermin pada ungkapan-ungkapan dan masyarakat ,”Bahasa sebagai aspek
kebudayaan”, Bahasa sebagai Cermin
Kebudayaan”. Bagaimana persisnya jenis-jenis pertalian itu harus dipahami
atau diartikan berbeda menurut
disiplin yang bersangkutan.
Jadi, dari sudut pengetahuan ilmu
liguistik pertalian itu lebih banyak mengenai komponan semantik,
yaitu pola yang tampak pada makna kata-kata, hubungan antara kata
dan benda dan kejadian yang seakan-akan berada diluar bahasa, sedangkan dari
sudut pengeliihatan antropologi pertalian itu ditentukan atas dasar anggapan
bahwa bahasa itu merupakan suatu pranata sebagaimana halnya sistem kekerabatan,
misalnya suatu pranata bagaimana halnya sistem kedududkan bahasa diberikan
sedemikian rupa, baik ilmu liguistik maupun atropolgi lebih banyak menyibukkan
diri dengan persoalan- persoalan yang menurut anggapannya masing-masing budaya
suatu komunitas.
Teori-teori yang telah
dikembangkan untuk menjelaskan bagaiman sebenarnya bentuk dan sifat pertalian
antara bahasa dan kebudayaan itu digolongan menurut dua golongan berikut.
Pertama, Teori yang berpangkal tolak pada bahasa: 1) stuktural yang yang
ditemukan dalam bahasa dianggap berlaku pula bagi aspek-aspek kebudayaan
lainya; 2) bahasa dianggap sebagai penentu utama pertalianya dengan kebudayaan.
Kedua, Teori yang berpangkal tolak pada kebudayaan. Dalam hubungan ini,
pertalianya dilihat sebagai konfigurasi faktor-foktor sosial budaya yang
memberikan corak terhadap kedudukan,
peranan, dan penggunaan bahasa.
III. Pembahasan
1. Cerminan Budaya dalam Bahasa Daerah
Merunjuk pada teori Sapir-Whorf,
dalam pembentukan bahasa juga lahir dari pola pikir manusia, teori tersebut
dapat dibenarkan. Lantas, apa saja yang dapat disebutkan bahasa mempengaruhi
budaya, sedangkan ketiadaan budaya di suatu daerah telah menyebabkan ketiadaan
kosa kata untuk mengutarakan budaya atau yang mewakili budaya tersebut. Hal ini
jelas memperlihatan bahwa tidak selamanya bahasa itu mempengaruhi budaya. Namun
ada kalanya budaya mempengaruhi bahasa. Menjadi wajar manakala dalam kajian
bahasa dan kebudayaan itu bisa disebut dengan Hipotesa Sapir-Whorf masih
dipertanyakan saat ini. Bahkan dalam tindakan sehari-hari, kebanyakan budaya
lebih dahulu ada dibanding bahasa. Misalnya suku Sasak dalam adat istiadat
resepsi perkawinan, yaitu dimana perempuan apabila mereka mau dinikahi oleh
seorang laki-laki maka yang perempuan harus dilarikan dulu kerumah keluarganya
dari pihak laki-laki, ini yang dikenal dengan sebutan merarik atau selarian.
Budaya selarian dalam suku Sasak tidak akan ada namanya apabila yang ada
adalah lamaran, namun setelah budaya tersebut tercipta dan menjadi kebiasaan masyarakat
suku Sasak dalam setiap kegiatan mau menikahi seorang perempuan, barulah
kemudian muncul nama (bahasa) untuk menyebutkan istilah tersebut. Contoh lain
suatu kata, ungkapan atau konsep yang ada dalam bahasa suatu kebudayaan belum
tentu mempunyai padanan yang sesuai dengan bahasa kebudayaan lain. Karena itu
Jika ingin membicarakan suatu konsep dari kebudayaan lain kita sering menggunakan
istilah dalam bahasa aslinya (bahasa daerah) untk mengungkapkan konsp tersebut,
sebab jika kata itu diterjemahkan sering artinya terlalu jauh dari apa yang
diungkapkan. Inilah mengapa kadang-kadang bahasa memakai suatu kata atau
istilah bahasa lain dalam menyatakan sesuatu.
Bahasa merupakan medium paling
penting bagi semua interaksi manunsia dan dalam banyak hal bahasa dapat disebut
sebagai intisari dari fenomena sosial. Bahasa sebagaimana yang dikatakan oleh
ahli, tanpa adanya bahasa tidak akan mungkin terbentuknya masyarakat dan tidak
akan ada kegiatan dalam masyarakat selain dari kegiatan yang didorong oleh
naluri saja. Bahasa merupakan satu peranata sosial yang setiap orang harus
menguasainya agar dapat berfungsi di dalam daerah yang bersifat kehidupan
sosial. Bahasa merupakan alat yang penting dalam berkomunikasi, akan tetapi
bahasa bukan hanya alat komunikasi, bahasa juga alat dari pengalaman perasaan
secara kolektif. Manunsia menciptakan kebudayaan dan peradaban ini hanya bisa
terjadi Karena manunsia mempunyai bahasa dan menggunakannya dalam kehidupan.
2. Penggunaan Bahasa (Bahasa Daerah) Sebagai
Penanda Identitas Diri Masyarakat Sasak
Seperti yang telah disampaikan
sebelumnya, bahwa saling pengaruh yang dinamis tidak hanya terjadi antara
bahasa dan pikiran, melainkan juga antara bahasa dan adat, antara bahasa dan
perilaku etnis, dan anatara bahasa perubahan-perubahan yang terjadi dalam
budaya. Sedemikian kuat pengaruh budaya itu terhadap bahasa (bahasa daerah)
atau bahasa asli, sehingga kekayaan atau kemiskinan suatu budaya tercermin
dalam bahasanya. Adat istiadat suku sasak dapat di saksikan pada saat resepsi
perkawinan, dimana perempuan apabila mereka mau dinikahki oleh seorang lelaki
maka yang perempuan harus dilarikan dulu kerumah keluarganya dari pihak laki
laki, ini yang dikenal dengan sebutan "merarik"
atau "selarian".
Hal trsebut dapat terlihat pada kekayaan kosa kata
bahasa Sasak dalam kaitanya dengan merarik
(menikah); Begawe (acara pada
saat proses pernikahan), Mesejati (pemberitahuan
kepada keluarga perempuan), Nyelabar (kesepakatan
mengenai biaya pernikahan), Sorong-serah (kegiatan
adat yang dihadiri masyarakat kedua belah pihak), Petok doe (penyelesaian adat terkait bawaan dari pihak keluarga
laki-laki), Nyogkol (arak-arakan
pengantin laki dan perempuan), Nyorong (utusan
dari pihak keluarga laki-laki), Ngadep (utusan
dari pihak keluarga perempuan), Begendang
beleq (musik tradisional Sasak untuk mengiringi pengantin). Begitu juga
dengan kebutuhan yang selalu ada dalam acara begawe seperti kosa kata nyiur
(kelapa); Miqe (topi yang terbuat
dari daun kelapa kering), Kise (tempat
ayam yang terbuat dari daun kelapa), Kelansah
(anyaman daun kelapa sebagai pengganti terop), Ekue (pucuk tunas kelapa yang berwarna putih dan dapat dimakan), Nyeleng (kelapa yang sudah tua dibuat
sebagai bahan minyak goring)
Kekayaan
istilah atau kosa kata seperti hal-hal tersebut di atas merupakan kekayaan
budaya dan bahasa yang bersangkut paut dengan adat istiadat, benda dan kesenian
masyarakat Sasak, yang kebanyakan budaya dan bahasa lain tidak terdapat karena
tidak mengenal kata begawe tetapi
cukup dengan kata resepsi pernikahan dan atau pada daerah tertentu tidak
terdapat banyak pohon nyiur (kelapa).
Uraian
di atas menunjukkan bahwa budaya tercermin dalam bahasanya (bahasa daerah).
Cerminan budaya dalam bahasa itu tidak hanya terlihat pada tingkat kosa kata
seperti yang ditunjukkan di atas. Hal ini juga memperlihatkan penggunaan bahasa
daerah oleh masyarakat Sasak mencerminan kebudayaan masyarakat tersebut
sekaligus memberikan kontribusi untuk mempertahankan identitas diri masyarakat
Sasak dalam modernisasi kebudayaan Indonesia. Artinya, salah satu cara dalam
mempertahankan identitas sosial dan masyarakat adalah lewat cara menggunakan
bahasa yang tercermin dalam budaya kita.
IV. Penutup
1. Simpulan
Etnis Sasak merupakan etnis mayoritas penghuni pulau
Lombok, suku Sasak merupakan etnis utama yang hampir keseluruhan penduduknya
berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan bahasa Sasak. Suku
Sasak juga mempunyai keanekaragaman budaya, baik dari segi adat istiadat yang
digunakan yang mempunyai keunikan tersendiri di dalamnya. Hal-hal tersebut
merupakan salah satu bukti daripada
kekayaan budaya Indonesia.
Seperti yang kita ketahui, fungsi bahasa bukan hanya sebatas
alat penyampai pesan semata, tetapi bahasa juga merupakan alat berfikir, alat
bernalar, alat berasa, dan bahkan alat berbudaya. Dengan demikian, budaya suatu
daerah sesungguhnya akan mencerminkan bahasanya. Artinya pula, bahasa (bahasa
daerah) yang digunakan hampir keseluruhan penduduk suku Sasak sesungguhnya
dapat dijadikan sebagai penanda identitas diri suatu masyarakat Sasak itu
sendiri karena kebanyakan budaya dan bahasa lain tidak memiliki adat istiadat
atau kosa kata untuk mengungkapkan hal tersebut.
No comments:
Post a Comment