Rabiyatul Adawiyah, M.Pd. |
Literasi merupakan istilah untuk membaca-menulis.
Saat ini yang terjadi pada masyarakat kita khususnya masyarakat kampus, minat
membaca dan menulis masih tergolong rendah bahkan mulai terkikis. Realitas yang
terjadi, ketika mahasiswa diberikan tugas perkuliahan masih copy paste padahal hakikatnyaketika kita
banyak membaca tentu akan keluar ide-ide untuk menulis. Budaya literasi yang
tertanam dalam diri mahasiswa mempengaruhi tingkat keberhasilan baik secara
akademik maupun nonakademik atau dalam kehidupan bermasyarakat.
Farr (1984) menyebut bahwa “Reading is the heart of education”. Bagi
masyarakat muslim, pentingnya literasi ditekankan dalam wahyu pertama Allah
kepada Nabi Muhammad SAW, yakni perintah membaca (Iqra’) yang dilanjutkan dengan ‘mendidik melalui literasi’ (‘Allama Bil Qalam) sedangkan dalam
kaitannya dengan menulis, Hernowo (2005) dalam bukunya “Mengikat Makna”
menyebut bahwa menulis dapat membuat pikiran kita lebih tertata tentang topik
yang kita tulis, membuat kita bisa merumuskan keadaan diri, mengikat dan
mengonstruksi gagasan, mengefektifkan atau membuat kita memiliki sugesti
(keyakinan/pengaruh) positif, membuat kita semakin pandai memahami sesuatu
(menajamkan pemahaman), meningkatkan daya ingat, membuat kita lebih mengenali
diri kita sendiri, mengalirkan diri, membuang kotoran diri, merekam momen
mengesankan yang kita alami, meninggalkan jejak pikiran yang sangat jelas,
memfasihkan komunikasi, memperbanyak kosa-kata, membantu bekerjanya imajinasi,
dan menyebarkan pengetahuan.
Terjadi fenomena “Rabun
Membaca – Pincang Menulis”. Penelitian Taufiq Ismail pada tahun 1996 menemukan
perbandingan tentang budaya baca di kalangan pelajar, rata-rata lulusan SMA di
Jerman membaca 32 judul buku, di Belanda 30 buku, Rusia 12 buku, Jepang 15
buku, Singapura 6 buku, Malaysia 6 buku, Brunei 7 Buku, sedangkan Indonesia 0
buku.
Hasil
studi Vincent Greannary yang dikutip World
Bank dalam sebuah laporan pendidikan“Education in Indonesia: From Crisis to Recovery” pada tahun 1998
mengungkapkan kemampuan membaca siswa kelas VI SD di Indonesia mendapatkan poin
51,7. Jauh di bawah Hongkong (75,5), Singapura (74,0), Thailand (65,1), dan
Filipina (52,6). Hasil ini menunjukkan bahwa membaca secara faktual belum
terintegrasi dengan kurikulum.
Produktifitas masyarakat Indonesia dalam bidang
penulisan terbilang sangat rendah. Jumlah buku yang diterbitkan tidak sampai 18
ribu judul per tahun. Jumlah ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan Jepang
yang mencapain 40 ribu judul per tahun, India 60 ribu judul per tahun, dan China
140 ribu judul per tahun (Kompas, 25/6/2012). Yang terbaru, berdasarkan sumber
Central Conecticut State University (Maret 2016) Indonesia berada diperingkat
ke-60 dari 61 negara dalam literasi dunia. Peringkat final ini didapat dari
penilaian lima aspek yaitu, kepemilikan komputer tiap rumah, jumlah
perpustakaan, sistem sekolah dan lama belajar di sekolah, sirkulasi Koran dan
edisi online Koran, serta nilai assessment dalam membaca. Senada dengan yang
diungkapkan oleh Prof. Iwan Pranoto dari ITB bahwa“70 persen Anak Indonesia
akan Sulit Hidup di Abad 21,” Indonesia termasuk negara yang prestasi
membacanya berada di bawah rata-rata negara peserta PIRLS 2006 secara
keseluruhan yaitu 500, 510, dan 493. Indonesia berada di urutan ke-lima dari
bawah, sedikit lebih tinggi dari Qatar (356), Quwait (333), Maroko (326), dan
Afrika Utara (304).
Adapun penyebabnya: (a)
kurangnya perpustakaan baik dari lembaga maupun perpustakaan pribadi/keluarga.
Kunjungan mahasiswa dan jumlah peminjaman buku sangat minim. Hal ini
dikarenakan jumlah buku koleksi perpustakaan tidak cukup untuk memenuhi
tuntutan kebutuhan membaca sebagai basis proses pendidikan. Rendahnya jumlah
koleksi tidak diantisipasi dengan program pengadaan buku secara berkala.
Peralatan, perlengkapan, dan petugas perpustakaan tidak sesuai kebutuhan.
Sebagian petugas bukanlah tenaga pustakawan khusus dan minim mendapatkan
peningkatan (pendidikan atau pelatihan kepustakaan). Lembaga tidak
mengalokasikan anggaran khusus yang memadai untuk pengembangan perpustakaan.
Akhirnya keberadaan perpustakaan menjadi tidak bermakna karena kurangnya
program kegiatan dan pengembangan padahal keberadaan perpustakaan yang memadai
salah satu ciri kota yang maju. (b) kurangnya kesadaran masyarakat tentang
pentingnya budaya literasi karena masyarakat kita lebih banyak menghabiskan
waktu menonton TV. Hal ini tentu masalah yang mendesak (critical
problem) sehingga harus muncul respon
cepat.
Rendahnya literacy awareness bangsa Indonesia
khususnya prov. NTB sekarang ini akan semakin melemahkan daya saing dalam
persaingan global yang semakin kompetitif. Sumber Daya Manusia yang kurang
kompetitif karena kurangnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, ini
adalah akibat turunan dari rendahnya kemampuan literasi.
Membaca belum menjadi kebutuhan hidup dan belum
menjadi budaya.
Menciptakan perubahan budaya
(cultural change) memerlukan proses
yang panjang, sekitar 1-2 generasi, bergantung pada political will pemerintah dan kesadaran masyarakat, dengan
rentang waktu 1 generasi sekitar 15-25 tahun.
Solusinya ketika kita
melihat persoalan daerah yang sedemikian krusial dalam hal kesadaran literasi,
dibutuhkan kerjasama banyak pihak untuk mengatasinya. Paling penting adalah
adanya tindakan nyata yang bukan sekedar wacana semata. Dibutuhkan intervensi
secara sistemik, masif, dan berkelanjutan untuk menumbuhkan budaya literasi
masyarakat. Pendekatan yang dianggap paling efektif adalah penyadaran literasi
sejak dini, sebuah program yang sistematik bisa masuk dengan efektif. Anak
adalah peniru oleh karena itu harus ada teladan yang ditiru. Apabila orang tua
mempunyai kebiasaan membaca, maka hampir pasti anak akan gemar membaca. Orang
tua yang suka memceritakan ke anak tentang apa yang dibaca tentu akan membuat
anak akan tertarik untuk membaca. Selanjutnya, jika orang tua yang teratur
menugaskan anak membaca menulis dan dievaluasi maka proses pembiasaan akan
berhasil.
Kita harus menyadari begitu
besar manfaat literasi, singkirkan mitos tentang menulis, seperti faktor, (a)
orang enggan menulis karena tidak tahu apa yang ditulis. Membaca, khususnya
menulis memang memerlukan waktu, energi, pikiran, dan perasaan, cukup banyak
hal yang dikorbankan untuk membuat tulisan. Bagi orang yang tidak tahu tujuan
dia menulis pengorbanan itu dianggap terlalu mahal atau bahkan mungkin sia-sia.
(b) orang enggan menulis karena merasa tidak berbakat, selaras dengan para
ahli, Kadis Dikpora Dr. Ir. H. Rosiady Sayuti, M.Sc dalam sambutannya pada
Pelatihan Karya Ilmiah mengatakan bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki
potensi untuk menulis mengarang dengan baik, karena menulis merupakan sebuah
kemahiran, maka penguasaannya memerlukan proses. Yang berbakat menulis pun jika
tidak pernah dilatih maka tidak akan memiliki kemampuan yang baik. Jadi sudah
jelaslah kesanggupan seseorang tidak terletak pada bakatnya seseorang melainkan
pada minat, kemauan, dan kegigihannya untuk menulis dan berlatih.
Ikhtiar Dikpora Prov. NTB yang
diprakarsai oleh Prof Mahsun dalam menjadikan NTB sebagai provinsi literasi,
bisa membuka mata hati orang tua, dan seluruh lapisan masyarakat untuk sadar
akan pentingnya literasi. Semoga dengan membaca ini, kita mempunyai kesadaran
untuk terus berkarya karena jayanya suatu negara tergantung dari generasi
mudanya, Jika sejak dini diterapkan literasi, bukan tidak mungkin akan
membuahkan generasi yang tangguh dan kuat, bila generasi muda sekarang mempunyai
budaya membaca dan menulis yang secara sistemik maka dapat dipastikan negara
Indonesia khususnya provinsi NTB menjadi provinsi yang punya taring terhadap
provinsi lainnya karena kemajuan peradaban manusia ditentukan oleh tingginya
ilmu pengetahuan, karya yang diciptakan dan tatanan kehidupan yang dianut.
Insya Allah, aamiin.
No comments:
Post a Comment