PENGUMUMAN PENTING

VISI: Pada tahun 2025 akan menjadi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dalam menghasilkan sarjana yang profesional, menguasai IPTEKS, dan bermanfaat bagi masyarakat yang dilandasi oleh nilai-nilai iman dan takwa

Tuesday, 7 June 2016

BUDAYAKAN LITERASI DALAM MEWUJUDKAN PERADABAN DI PROV. NTB



Rabiyatul Adawiyah, M.Pd.

Literasi merupakan istilah untuk membaca-menulis. Saat ini yang terjadi pada masyarakat kita khususnya masyarakat kampus, minat membaca dan menulis masih tergolong rendah bahkan mulai terkikis. Realitas yang terjadi, ketika mahasiswa diberikan tugas perkuliahan masih copy paste padahal hakikatnyaketika kita banyak membaca tentu akan keluar ide-ide untuk menulis. Budaya literasi yang tertanam dalam diri mahasiswa mempengaruhi tingkat keberhasilan baik secara akademik maupun nonakademik atau dalam kehidupan bermasyarakat.
Farr (1984) menyebut bahwa “Reading is the heart of education”. Bagi masyarakat muslim, pentingnya literasi ditekankan dalam wahyu pertama Allah kepada Nabi Muhammad SAW, yakni perintah membaca (Iqra’) yang dilanjutkan dengan ‘mendidik melalui literasi’ (‘Allama Bil Qalam) sedangkan dalam kaitannya dengan menulis, Hernowo (2005) dalam bukunya “Mengikat Makna” menyebut bahwa menulis dapat membuat pikiran kita lebih tertata tentang topik yang kita tulis, membuat kita bisa merumuskan keadaan diri, mengikat dan mengonstruksi gagasan, mengefektifkan atau membuat kita memiliki sugesti (keyakinan/pengaruh) positif, membuat kita semakin pandai memahami sesuatu (menajamkan pemahaman), meningkatkan daya ingat, membuat kita lebih mengenali diri kita sendiri, mengalirkan diri, membuang kotoran diri, merekam momen mengesankan yang kita alami, meninggalkan jejak pikiran yang sangat jelas, memfasihkan komunikasi, memperbanyak kosa-kata, membantu bekerjanya imajinasi, dan menyebarkan pengetahuan.
Terjadi fenomena “Rabun Membaca – Pincang Menulis”. Penelitian Taufiq Ismail pada tahun 1996 menemukan perbandingan tentang budaya baca di kalangan pelajar, rata-rata lulusan SMA di Jerman membaca 32 judul buku, di Belanda 30 buku, Rusia 12 buku, Jepang 15 buku, Singapura 6 buku, Malaysia 6 buku, Brunei 7 Buku, sedangkan Indonesia 0 buku.
Hasil studi Vincent Greannary yang dikutip World Bank dalam sebuah laporan pendidikan“Education in Indonesia: From Crisis to Recovery” pada tahun 1998 mengungkapkan kemampuan membaca siswa kelas VI SD di Indonesia mendapatkan poin 51,7. Jauh di bawah Hongkong (75,5), Singapura (74,0), Thailand (65,1), dan Filipina (52,6). Hasil ini menunjukkan bahwa membaca secara faktual belum terintegrasi dengan kurikulum.
Produktifitas masyarakat Indonesia dalam bidang penulisan terbilang sangat rendah. Jumlah buku yang diterbitkan tidak sampai 18 ribu judul per tahun. Jumlah ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan Jepang yang mencapain 40 ribu judul per tahun, India 60 ribu judul per tahun, dan China 140 ribu judul per tahun (Kompas, 25/6/2012). Yang terbaru, berdasarkan sumber Central Conecticut State University (Maret 2016) Indonesia berada diperingkat ke-60 dari 61 negara dalam literasi dunia. Peringkat final ini didapat dari penilaian lima aspek yaitu, kepemilikan komputer tiap rumah, jumlah perpustakaan, sistem sekolah dan lama belajar di sekolah, sirkulasi Koran dan edisi online Koran, serta nilai assessment dalam membaca. Senada dengan yang diungkapkan oleh Prof. Iwan Pranoto dari ITB bahwa“70 persen Anak Indonesia akan Sulit Hidup di Abad 21,” Indonesia termasuk negara yang prestasi membacanya berada di bawah rata-rata negara peserta PIRLS 2006 secara keseluruhan yaitu 500, 510, dan 493. Indonesia berada di urutan ke-lima dari bawah, sedikit lebih tinggi dari Qatar (356), Quwait (333), Maroko (326), dan Afrika Utara (304).
Adapun penyebabnya: (a) kurangnya perpustakaan baik dari lembaga maupun perpustakaan pribadi/keluarga. Kunjungan mahasiswa dan jumlah peminjaman buku sangat minim. Hal ini dikarenakan jumlah buku koleksi perpustakaan tidak cukup untuk memenuhi tuntutan kebutuhan membaca sebagai basis proses pendidikan. Rendahnya jumlah koleksi tidak diantisipasi dengan program pengadaan buku secara berkala. Peralatan, perlengkapan, dan petugas perpustakaan tidak sesuai kebutuhan. Sebagian petugas bukanlah tenaga pustakawan khusus dan minim mendapatkan peningkatan (pendidikan atau pelatihan kepustakaan). Lembaga tidak mengalokasikan anggaran khusus yang memadai untuk pengembangan perpustakaan. Akhirnya keberadaan perpustakaan menjadi tidak bermakna karena kurangnya program kegiatan dan pengembangan padahal keberadaan perpustakaan yang memadai salah satu ciri kota yang maju. (b) kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya budaya literasi karena masyarakat kita lebih banyak menghabiskan waktu menonton TV. Hal ini tentu masalah yang mendesak (critical problem) sehingga harus muncul respon cepat.
Rendahnya literacy awareness bangsa Indonesia khususnya prov. NTB sekarang ini akan semakin melemahkan daya saing dalam persaingan global yang semakin kompetitif. Sumber Daya Manusia yang kurang kompetitif karena kurangnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, ini adalah akibat turunan dari rendahnya kemampuan literasi.
Membaca belum menjadi kebutuhan hidup dan belum menjadi budaya.
Menciptakan perubahan budaya (cultural change) memerlukan proses yang panjang, sekitar 1-2 generasi, bergantung pada political will pemerintah dan kesadaran masyarakat, dengan rentang waktu 1 generasi sekitar 15-25 tahun.
Solusinya ketika kita melihat persoalan daerah yang sedemikian krusial dalam hal kesadaran literasi, dibutuhkan kerjasama banyak pihak untuk mengatasinya. Paling penting adalah adanya tindakan nyata yang bukan sekedar wacana semata. Dibutuhkan intervensi secara sistemik, masif, dan berkelanjutan untuk menumbuhkan budaya literasi masyarakat. Pendekatan yang dianggap paling efektif adalah penyadaran literasi sejak dini, sebuah program yang sistematik bisa masuk dengan efektif. Anak adalah peniru oleh karena itu harus ada teladan yang ditiru. Apabila orang tua mempunyai kebiasaan membaca, maka hampir pasti anak akan gemar membaca. Orang tua yang suka memceritakan ke anak tentang apa yang dibaca tentu akan membuat anak akan tertarik untuk membaca. Selanjutnya, jika orang tua yang teratur menugaskan anak membaca menulis dan dievaluasi maka proses pembiasaan akan berhasil.
Kita harus menyadari begitu besar manfaat literasi, singkirkan mitos tentang menulis, seperti faktor, (a) orang enggan menulis karena tidak tahu apa yang ditulis. Membaca, khususnya menulis memang memerlukan waktu, energi, pikiran, dan perasaan, cukup banyak hal yang dikorbankan untuk membuat tulisan. Bagi orang yang tidak tahu tujuan dia menulis pengorbanan itu dianggap terlalu mahal atau bahkan mungkin sia-sia. (b) orang enggan menulis karena merasa tidak berbakat, selaras dengan para ahli, Kadis Dikpora Dr. Ir. H. Rosiady Sayuti, M.Sc dalam sambutannya pada Pelatihan Karya Ilmiah mengatakan bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki potensi untuk menulis mengarang dengan baik, karena menulis merupakan sebuah kemahiran, maka penguasaannya memerlukan proses. Yang berbakat menulis pun jika tidak pernah dilatih maka tidak akan memiliki kemampuan yang baik. Jadi sudah jelaslah kesanggupan seseorang tidak terletak pada bakatnya seseorang melainkan pada minat, kemauan, dan kegigihannya untuk menulis dan berlatih.
Ikhtiar Dikpora Prov. NTB yang diprakarsai oleh Prof Mahsun dalam menjadikan NTB sebagai provinsi literasi, bisa membuka mata hati orang tua, dan seluruh lapisan masyarakat untuk sadar akan pentingnya literasi. Semoga dengan membaca ini, kita mempunyai kesadaran untuk terus berkarya karena jayanya suatu negara tergantung dari generasi mudanya, Jika sejak dini diterapkan literasi, bukan tidak mungkin akan membuahkan generasi yang tangguh dan kuat, bila generasi muda sekarang mempunyai budaya membaca dan menulis yang secara sistemik maka dapat dipastikan negara Indonesia khususnya provinsi NTB menjadi provinsi yang punya taring terhadap provinsi lainnya karena kemajuan peradaban manusia ditentukan oleh tingginya ilmu pengetahuan, karya yang diciptakan dan tatanan kehidupan yang dianut. Insya Allah, aamiin.


No comments:

Post a Comment