Oleh: Rabiyatul Adawiyah, M. Pd.
Sumber Foto: Pelatihan KTI |
Farr (1984)
menyebut bahwa “Reading is the heart of
education”. Bagi masyarakat muslim, pentingnya literasi ditekankan dalam
wahyu pertama Allah kepada Nabi Muhammad SAW, yakni perintah membaca (IQRA’)
yang dilanjutkan dengan ‘mendidik melalui literasi’ (‘ALLAMA BIL QALAM) sedangkan
dalam kaitannya dengan menulis, Hernowo (2005) dalam bukunya “Mengikat Makna”
menyebut bahwa menulis dapat membuat pikiran kita lebih tertata tentang topik
yang kita tulis, membuat kita bisa merumuskan keadaan diri, mengikat dan
mengonstruksi gagasan, mengefektifkan atau membuat kita memiliki sugesti
(keyakinan/ pengaruh) positif, membuat kita semakin pandai memahami sesuatu
(menajamkan pemahaman), meningkatkan daya ingat, membuat kita lebih mengenali
diri kita sendiri, mengalirkan diri, membuang kotoran diri, merekam momen
mengesankan yang kita alami, meninggalkan jejak pikiran yang sangat jelas,
memfasihkan komunikasi, memperbanyak kosa-kata, membantu bekerjanya imajinasi,
dan menyebarkan pengetahuan.
UNESCO (1996) mencanangkan empat
prinsip belajar abad 21, yakni:
(1) Learning
to think (belajar berpikir)
(2) Learning
to do (belajar berbuat)
(3) Learning
to be (belajar untuk menjadi seseorang)
(4) Learning
to live together (belajar hidup bersama)
Keempat
pilar prinsip pembelajaran ini sepenuhnya didasarkan pada kemampuan literasi (Literary
skills).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi:
(a) kurangnya perpustakaan, baik di lembaga maupun perpustakaan pribadi/keluarga.
Perpustakaan merupakan gudangnya ilmu pengetahuan dalam rangka membuka tabir
informasi tentang dunia. Keberadaan perpustakaan
yang memadai adalah salah satu ciri kota-kota modern di negara maju. (b) kurangnya jumlah
pengunjung pada perpustakaan (c) masyarakat kita lebih banyak menghabiskan
waktu menonton TV.
Terjadi fenomena “Rabun Membaca –
Pincang Menulis”. Penelitian Taufiq Ismail pada tahun 1996 menemukan
perbandingan tentang budaya baca di kalangan pelajar, rata-rata lulusan SMA di
Jerman membaca 32 judul buku, di Belanda 30 buku, Rusia 12 buku, Jepang 15
buku, Singapura 6 buku, Malaysia 6 buku, Brunei 7 Buku, sedangkan Indonesia 0
buku.
Hasil studi Vincent Greannary yang dikutip World Bank dalam
sebuah laporan pendidikan“Education in Indonesia: From Crisis to Recovery”
pada tahun 1998 mengungkapkan kemampuan membaca siswa kelas VI SD di Indonesia
mendapatkan poin 51,7. Jauh di bawah Hongkong (75,5), Singapura (74,0), Thailand
(65,1), dan Filipina (52,6). Hasil ini menunjukkan bahwa membaca secara faktual
belum terintegrasi dengan kurikulum.
Produktifitas masyarakat Indonesia
dalam bidang penulisan terbilang sangat rendah. Jumlah buku yang diterbitkan
tidak sampai 18 ribu judul per tahun. Jumlah ini jauh lebih rendah dibandingkan
dengan Jepang yang mencapain 40 ribu judul per tahun, India 60 ribu judul per
tahun, dan China 140 ribu judul per tahun (Kompas, 25/6/2012).
Dari bidang
penerbitan tulisan ilmiah, produktifitas negara kita juga masih rendah.
Berdasarkan data Scimagojr, Journal, and Country Rank 2011, Indonesia berada di
ranking 65 dengan jumlah 12.871 publikasi. Posisi Indonesia di bawah Kenya
dengan 12.884 publikasi. Negara Paman Sam ada di peringkat pertama, dengan
5.285.514 publikasi. Indonesia masih kalah dengan Singapura yang ada di posisi
32 dengan 108.522 publikasi (okezone.com, 21/2/2012). Jika dilihat dengan
perspektif rasio publikasi penelitian dengan jumlah penduduk, persentasenya
menjadi jauh lebih kecil lagi.
Adapun
penyebabnya: Kunjungan mahasiswa dan jumlah peminjaman buku sangat minim. Hal ini
dikarenakan jumlah buku koleksi perpustakaan tidak cukup untuk memenuhi
tuntutan kebutuhan membaca sebagai basis proses pendidikan. Rendahnya jumlah
koleksi tidak diantisipasi dengan program pengadaan buku secara berkala. Peralatan,
perlengkapan, dan petugas perpustakaan tidak sesuai kebutuhan. Sebagian petugas
bukanlah tenaga pustakawan khusus dan minim mendapatkan peningkatan (pendidikan
atau pelatihan kepustakaan). Lembaga tidak mengalokasikan anggaran khusus yang
memadai untuk pengembangan perpustakaan. Akhirnya keberadaan perpustakaan
menjadi tidak bermakna karena kurangnya program kegiatan dan pengembangan.
Kurangnya kesadaran masyarakat
tentang pentingnya budaya baca-tulis.
Persoalan
rendahnya budaya literasi belum dianggap sebagai masalah yang mendesak (critical
problem) sehingga tidak muncul respon cepat yang diperlukan serta cenderung
disepelekan.
Anggapan bahwa tradisi literasi
adalah ekslusif untuk kaum elit masyarakat saja, sehingga kelompok masyarakat
awam merasa tidak perlu mengembangkan tradisi literasi.
Rendahnya literacy
awareness bangsa Indonesia sekarang ini akan semakin melemahkan daya
saing bangsa dalam persaingan global yang semakin kompetitif.
“70 persen Anak Indonesia akan Sulit
Hidup di Abad 21,” demikian kata Prof Iwan Pranoto dari ITB. Indonesia termasuk
negara yang prestasi membacanya berada di bawah rata-rata negara peserta PIRLS
2006 secara keseluruhan yaitu 500, 510, dan 493. Indonesia berada di urutan
ke-lima dari bawah, sedikit lebih tinggi dari Qatar (356), Quwait (333), Maroko
(326), dan Afrika Utara (304).
Sumber Daya Manusia Indonesia kurang
kompetitif karena kurangnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, ini
adalah akibat turunan dari rendahnya kemampuan baca-tulis.
Membaca belum menjadi kebutuhan
hidup dan belum menjadi budaya.
Menciptakan
perubahan budaya (cultural change) memerlukan proses yang panjang,
sekitar 1-2 generasi, bergantung pada political will pemerintah
dan kesadaran masyarakat, dengan rentang waktu 1 generasi sekitar 15-25 tahun.
Solusinya ketika kita melihat persoalan
bangsa yang sedemikian krusial dalam hal kesadaran literasi, dibutuhkan
kerjasama banyak pihak untuk mengatasinya. Paling penting adalah adanya
tindakan nyata yang bukan sekedar wacana semata.
Dibutuhkan intervensi secara
sistemik, masif, dan berkelanjutan untuk menumbuhkan budaya literasi
masyarakat. Pendekatan yang dianggap paling efektif adalah penyadaran literasi
sejak dini, sebuah program yang sistematik bisa masuk dengan efektif.
Semoga dengan membaca ini, kita
mempunyai kesadaran untuk terus berkarya karena jayanya suatu negara tergantung
dari pemudanya, jika pemuda sekarang mempunyai budaya membaca dan menulis yang
secara sistemik maka dapat dipastikan negara Indonesia menjadi negara yang
punya taring terhadap negara lainnya. Insya Allah, amin.
No comments:
Post a Comment