WAJAHKU SISA DARI PERADABAN ‘BERNAMA’
oleh: Syukrina Rahmawati
Pagi ini aku
terasa bimbang di antar tawanan masa. Aku masih berdiri di sela-sela takdir
yang digariskan untukku. Di antara kerumunan orang-orang yang berlalu lalang
untuk pergi ke tempatnya mencari nafkah. Aku pun sepertinya begitu. Segala
gerak-gerikku adalah pekerjaanku meski tak menghasilkan uang. Aku bahagia
dengan baju seadanya, kaki beralaskan sandal rombengan, wajah kusam, dan badan
yang serba kumel. Aku terus berjalan menapaki jejak langkah kakiku sendiri
tanpa henti dan tak berujung. Rangkaian peristiwa menyatu dengan barisan semut
yang berderet di tepi tembok hitam itu. Entahlah sebenarnya mungkin aku lelah
tapi aku tidak ingin menyerah begitu saja oleh kata-kata malaikat yang selalu
terngiang di telingaku. Aku tidak mengerti mengapa aku dilahirkan tapi aku
yakin aku hidup karena satu tujuan yaitu kembali pada Tuhan.
Aku coba
bekerja menjadi tukang sayur. Setiap hari aku bekerja atas nama ‘memenuhi
kebutuhan’, atas itulah aku terpaksa berjuang menindas orang-orang dan hal-hal
lainnya yang menghalangi keinginanku. Seperti biasa dengan gerobak sayurku aku
berjalan menyusuri jalan, masuk gang keluar gang masuk jalan keluar jalan.
Kenapa jalan juga harus tidak pasti sama halnya kehidupan yang tak pasti arah
dan tujuannya. Ketika aku masuk gang di Jl. Sudirman, serobotan ibu-ibu
memecahkan otakku. Sayur-sayur segar berontak tak rela dibunuh dengan
tangan-tangan mereka sekaligus bangga untuk diperebutkan. Aku terdiam sejenak
menyaksikan betapa rakusnya mereka terhadap dunia yang masanya mencemooh
manusia. Kumpulan materi pun kudapatkan secara tak sengaja.
Keluar gang
Jl. Sudirman sedikit berbelok aku mengalihkan perjalanan ke kompleks perumahan
mewah di Jl. Soekarno. Aku tak banyak berharap dari penghasilan jualanku ini
karena masih banyak yang senasib denganku, nasibnya tak seberuntung tikus-tikus
got yang ada di depan rumah mewah itu. mungkinkah masih ada harapan untuk
penjahat yang sekedar makan siap saji di restoran? Aku tetap tak percaya,
sekarang ada penjahat berlandaskan modal kedok saja. Sudah gila memang hidup
ini. Gila rasa, gila cipta, gila kekuasaan, gila kebatinan, gila sudah!!
Bagaimana tidak gila, aku saja yang kerjaannya hanya jual sayur siang malam
banting tulang tapi ternyata hasilnya tetap tak bertulang. Sayur ini, jualanku
ini.... tidak ada bandingannya dengan harga diri yang diinjak-injak di emperan
jalan itu. tak ada yang mesti harus kubanggakan selain nyawa yang ada dalam
tubuhku ini, kebanggaan terhadap kesombongan yang penuh akan rasa optimis.
Tiba-tiba aku
sampai di depan rumah besar yang memiliki dua atap terbuat dari genteng
berkualitas luar negeri. Bodohnya aku ini, tukang gerobak sayur numpang lewat
di depan rumah mewah yang bau akan wangi permusuhan dalam pergulatan sebuah
konflik. Keluarlah seorang kaya berpenampilan elite bicara dengan nada menggurui.
“Negara sudah
maju tetap saja rakyatnya tidak maju-maju, mangkanya jadi orang kaya dong biar
bisa maju. Maju apa kek gitu... yang penting hidup tidak bergantung dari sebuah
gerobak reot.”
Dengan sok
cerdas dia bilang lagi.
“Sayur yang
lebih sehat biasanya dikemas dengan sehat dan berada di tempat yang sehat pula.
Buat apa beli di tempat yang biasanya hanya kotoran saja yang mampir.”
Aku tak
semudah terpancing keadaan, aku tidak mau di cap sebagai orang miskin yang
goblok.
“Negara tidak
akan pernah maju jika rakyatnya tidak maju-maju menolong yang lemah. Yang lemah
apa kek gitu.... yang jelas termasuk juga orang-orang yang masih bergantung
pada sebuah gerobak reot.”
Aku tak perlu
bersusuah payah menyusun kata dengan konsep sendiri.
“Sayur yang
lebih sehat biasanya berasal dari hasil panen yang alami, bersih, dan tidak
mengandung pestisida hanya untuk
sebagai pengawet saja. Buat apa beli di tempat yang rupanya saja bersih tapi kandungannya
mematikan peradaban.”
Seorang kaya
itu hanya diam dengan muka sinis serta kehilangan kata-kata. Bisanya cuma
meludahi kata-kata yang sudah ia lontarkan. Kasihan orang kaya itu.
Aku tak pernah
diajar meratapi nasib yang begini-begini saja, tapi aku diajari cara seharusnya
menyikapi masalah yang datang. Bagai musim hujan yang datang tak menentu dan
bisa datang kapan saja lalu aku pawangnya. Tidak ada yang salah dengan
pekerjaannku ini, yang penting halal dan tidak merugikan orang lain.
Bagai mendung
terus menutupi bumi kelam tapi cerianya burung cemara tetap bersandar pada
rawa-rawa sunyi di pinggiran kota. Berabad terasa berbulan. Dan malaikat tak
pernah berhenti merongrong juga menuntut pertanggungjawabanku atas tragedi
pembunuhan yang telah kubuat kepada seekor semut di tembok hitam itu. tepatnya,
kekacauan yang telah kuperbuat sendiri dengan pisau-pisau penjahat kelas teri
itu.
Aku tetap ‘Bernama’. Tegak berdiri di atas
tebing curam yang dibawahnya banyak ulat-ulat busuk yang dijelma dari simbol
kekuatan palsu. Aku terluka tapi bertahan. Rintihan anak kecil di pinggir kali
itu memacu asa yang bersalah akan pengharapan.
Aku coba
menjadi guru. Merasa bangga karena mengalirkan ilmu yang telah kuperoleh lebih
dulu dari mereka. Kuajarkan mereka segalanya kecuali membaca. Agar mereka
nantinya tak dapa membaca papan-papan iklan yang isinya kata-kata kiasan
belaka. Aku tak mau mereka hidup dengan mimpi-mimpi yang tak pasti, aku tak mau
mereka hidup di dalam permainan ulat-ulat busuk itu. karena semuanya bohong,
penipu dan curang! Kini dunia dipenuhi oleh ulat-ulat yang bangkainya
merajalela.
Suatu hari
seorang muridku bertanya,
“bu... apakah
yang dimaksud dengan kata?”
“Kata adalah
pisau dapur.”
“Lalu pisau
dapur itu apa?”
“Pisau dapur
itu senjata.”
“senjata itu
apa?”
“Senjata itu perjuangan”
“perjuangan itu
apa?”
“Perjuangan
itu kemerdekaan.”
“Kemerdekaan
itu apa?”
“Kemerdekaan
itu negara.”
“Negara itu
hilang... hilang... hilang...”
Aku telah
kehabisan kata-kata namun muridku tak menyadari bahwa dirinya pun berakhir
dengan kehilangan. Kehilangan segalanya. Kehilangan cita, kehilangan rasa,
kehilangan kata-kata. Lalu apa lagi yang paling pantas menyebutku pahlawan.
Pahlawanku adalah aku. Aku tak pernah letih berdiri dengan satu kaki ini,
karena kaki yang satunya melanglang buana mencari jati dirinya pada apa yang
diperolehnya di puncak kerisauan sang malam. Maka sebutlah aku ini bendera yang
terpajang karena ‘Bernama’. ‘Bernama’ apa saja yang dapat menjadikan dunia
penuh cerita baru. Kebangkitan seorang di saat itu tak bisa menjadi deretan
pernyataan terhadap kisah kepunahan dunia. Mulailah tiba kita menatap waktu
demi waktu yang sedikit menepis mimpi. Aku lelah beranjak dengan angan dan
harapan semu. Aku terlalu baik mengaku sebagai seorang guru, aku tak cocok
mengajarkan bagaimana caranya menjadi seorang yang munafik. Lain di hati bohong
juga yang diucapkan.
Hari-hari
berlalu seiring ku memahami langkah kakiku. Sampai ku tiba di tepi tebing curam
yang terjal. Dari semua yang pernah ku perbuat ternyata inilah yang dapat
membuatku melihat sosok ‘Bernama’. Tanpa harus perlu menjadi ‘musang berbulu
domba’. Di kabut hari cerah, aku melihat bayanganku sendiri yang sedang giatnya
bertaruh menantang kehidupan. Tak ada guna atas semua yang telah kuabdikan. Saatnya
sudah aku berlari, bukan merangkak dan menanti orang lain untuk menuntunku
berjalan lebih cepat meski kedua kakiku buntung. Tak ada lain lagi sebuah
imajinasi melekat pada buah pikiranku.
Masih ada
tanganku yang mampu meraba setapak demi setapak perjalananku mencari jati diri.
Tidak bergantung pada angin yang berhembusnya ke arah mana. Angin itu bisanya
membawa ku ke arah sumber malapetaka yang ku tak tahu di mana ujung pangkalnya.
Arahkan sedikit saja mata angin yang terlalu lama menghambat satu per satu jiwa
ini. Mungkin aku tak dapat meretas mimpi buruk yang seakan menuntut janji-janji
palsu padaku. Tentu saja hidup ini tak ubahnya imajinasi yang tersusun secara
sistematis namun tak kiranya ada pengganjal. Tuhan tak diragukan keadilan-Nya,
karena sampai saat ini Dia masih adil membagi mana awan dan mana kabut di atas
ubun-ubunku. Aku tak pernah menyesal dengan peradaban yang sedang kacau-balau
ini, dibaliknya ada setetes embun dari hari malam kemarin yang telah
menyejukkan sendi-sendi kegelisahanku. Ku buang riwayat buruk ini hingga
masanya berganti menjadi sebuah keabadian yang jauh tempatnya.
Aku terhenti
di sini. Di ujung curam yang membawaku terbang bersama burung-burung. Aku tak
mengharapkan hal-hal yang tak ingin ku ada pada perjalanan siang dan malam yang
tak tentu. Akan kembali nanti cerita itu di saat tubuhku melayang di antara
kabut kesunyian.
No comments:
Post a Comment