PENGUMUMAN PENTING

VISI: Pada tahun 2025 akan menjadi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dalam menghasilkan sarjana yang profesional, menguasai IPTEKS, dan bermanfaat bagi masyarakat yang dilandasi oleh nilai-nilai iman dan takwa

Wednesday, 20 January 2016



WAJAHKU SISA DARI PERADABAN ‘BERNAMA’
oleh: Syukrina Rahmawati
Pagi ini aku terasa bimbang di antar tawanan masa. Aku masih berdiri di sela-sela takdir yang digariskan untukku. Di antara kerumunan orang-orang yang berlalu lalang untuk pergi ke tempatnya mencari nafkah. Aku pun sepertinya begitu. Segala gerak-gerikku adalah pekerjaanku meski tak menghasilkan uang. Aku bahagia dengan baju seadanya, kaki beralaskan sandal rombengan, wajah kusam, dan badan yang serba kumel. Aku terus berjalan menapaki jejak langkah kakiku sendiri tanpa henti dan tak berujung. Rangkaian peristiwa menyatu dengan barisan semut yang berderet di tepi tembok hitam itu. Entahlah sebenarnya mungkin aku lelah tapi aku tidak ingin menyerah begitu saja oleh kata-kata malaikat yang selalu terngiang di telingaku. Aku tidak mengerti mengapa aku dilahirkan tapi aku yakin aku hidup karena satu tujuan yaitu kembali pada Tuhan.
Aku coba bekerja menjadi tukang sayur. Setiap hari aku bekerja atas nama ‘memenuhi kebutuhan’, atas itulah aku terpaksa berjuang menindas orang-orang dan hal-hal lainnya yang menghalangi keinginanku. Seperti biasa dengan gerobak sayurku aku berjalan menyusuri jalan, masuk gang keluar gang masuk jalan keluar jalan. Kenapa jalan juga harus tidak pasti sama halnya kehidupan yang tak pasti arah dan tujuannya. Ketika aku masuk gang di Jl. Sudirman, serobotan ibu-ibu memecahkan otakku. Sayur-sayur segar berontak tak rela dibunuh dengan tangan-tangan mereka sekaligus bangga untuk diperebutkan. Aku terdiam sejenak menyaksikan betapa rakusnya mereka terhadap dunia yang masanya mencemooh manusia. Kumpulan materi pun kudapatkan secara tak sengaja.
Keluar gang Jl. Sudirman sedikit berbelok aku mengalihkan perjalanan ke kompleks perumahan mewah di Jl. Soekarno. Aku tak banyak berharap dari penghasilan jualanku ini karena masih banyak yang senasib denganku, nasibnya tak seberuntung tikus-tikus got yang ada di depan rumah mewah itu. mungkinkah masih ada harapan untuk penjahat yang sekedar makan siap saji di restoran? Aku tetap tak percaya, sekarang ada penjahat berlandaskan modal kedok saja. Sudah gila memang hidup ini. Gila rasa, gila cipta, gila kekuasaan, gila kebatinan, gila sudah!! Bagaimana tidak gila, aku saja yang kerjaannya hanya jual sayur siang malam banting tulang tapi ternyata hasilnya tetap tak bertulang. Sayur ini, jualanku ini.... tidak ada bandingannya dengan harga diri yang diinjak-injak di emperan jalan itu. tak ada yang mesti harus kubanggakan selain nyawa yang ada dalam tubuhku ini, kebanggaan terhadap kesombongan yang penuh akan rasa optimis.
Tiba-tiba aku sampai di depan rumah besar yang memiliki dua atap terbuat dari genteng berkualitas luar negeri. Bodohnya aku ini, tukang gerobak sayur numpang lewat di depan rumah mewah yang bau akan wangi permusuhan dalam pergulatan sebuah konflik. Keluarlah seorang kaya berpenampilan elite bicara dengan nada menggurui.
“Negara sudah maju tetap saja rakyatnya tidak maju-maju, mangkanya jadi orang kaya dong biar bisa maju. Maju apa kek gitu... yang penting hidup tidak bergantung dari sebuah gerobak reot.”
Dengan sok cerdas dia bilang lagi.
“Sayur yang lebih sehat biasanya dikemas dengan sehat dan berada di tempat yang sehat pula. Buat apa beli di tempat yang biasanya hanya kotoran saja yang mampir.”
Aku tak semudah terpancing keadaan, aku tidak mau di cap sebagai orang miskin yang goblok.
“Negara tidak akan pernah maju jika rakyatnya tidak maju-maju menolong yang lemah. Yang lemah apa kek gitu.... yang jelas termasuk juga orang-orang yang masih bergantung pada sebuah gerobak reot.”
Aku tak perlu bersusuah payah menyusun kata dengan konsep sendiri.  
“Sayur yang lebih sehat biasanya berasal dari hasil panen yang alami, bersih, dan tidak mengandung pestisida hanya untuk sebagai pengawet saja. Buat apa beli di tempat yang rupanya saja bersih tapi kandungannya mematikan peradaban.”
Seorang kaya itu hanya diam dengan muka sinis serta kehilangan kata-kata. Bisanya cuma meludahi kata-kata yang sudah ia lontarkan. Kasihan orang kaya itu.
Aku tak pernah diajar meratapi nasib yang begini-begini saja, tapi aku diajari cara seharusnya menyikapi masalah yang datang. Bagai musim hujan yang datang tak menentu dan bisa datang kapan saja lalu aku pawangnya. Tidak ada yang salah dengan pekerjaannku ini, yang penting halal dan tidak merugikan orang lain.
Bagai mendung terus menutupi bumi kelam tapi cerianya burung cemara tetap bersandar pada rawa-rawa sunyi di pinggiran kota. Berabad terasa berbulan. Dan malaikat tak pernah berhenti merongrong juga menuntut pertanggungjawabanku atas tragedi pembunuhan yang telah kubuat kepada seekor semut di tembok hitam itu. tepatnya, kekacauan yang telah kuperbuat sendiri dengan pisau-pisau penjahat kelas teri itu.
 Aku tetap ‘Bernama’. Tegak berdiri di atas tebing curam yang dibawahnya banyak ulat-ulat busuk yang dijelma dari simbol kekuatan palsu. Aku terluka tapi bertahan. Rintihan anak kecil di pinggir kali itu memacu asa yang bersalah akan pengharapan.
Aku coba menjadi guru. Merasa bangga karena mengalirkan ilmu yang telah kuperoleh lebih dulu dari mereka. Kuajarkan mereka segalanya kecuali membaca. Agar mereka nantinya tak dapa membaca papan-papan iklan yang isinya kata-kata kiasan belaka. Aku tak mau mereka hidup dengan mimpi-mimpi yang tak pasti, aku tak mau mereka hidup di dalam permainan ulat-ulat busuk itu. karena semuanya bohong, penipu dan curang! Kini dunia dipenuhi oleh ulat-ulat yang bangkainya merajalela. 
Suatu hari seorang muridku bertanya,
“bu... apakah yang dimaksud dengan kata?”
“Kata adalah pisau dapur.”
“Lalu pisau dapur itu apa?”
“Pisau dapur itu senjata.”
“senjata itu apa?”
“Senjata itu perjuangan”
“perjuangan itu apa?”
“Perjuangan itu kemerdekaan.”
“Kemerdekaan itu apa?”
“Kemerdekaan itu negara.”
“Negara itu hilang... hilang... hilang...”
Aku telah kehabisan kata-kata namun muridku tak menyadari bahwa dirinya pun berakhir dengan kehilangan. Kehilangan segalanya. Kehilangan cita, kehilangan rasa, kehilangan kata-kata. Lalu apa lagi yang paling pantas menyebutku pahlawan. Pahlawanku adalah aku. Aku tak pernah letih berdiri dengan satu kaki ini, karena kaki yang satunya melanglang buana mencari jati dirinya pada apa yang diperolehnya di puncak kerisauan sang malam. Maka sebutlah aku ini bendera yang terpajang karena ‘Bernama’. ‘Bernama’ apa saja yang dapat menjadikan dunia penuh cerita baru. Kebangkitan seorang di saat itu tak bisa menjadi deretan pernyataan terhadap kisah kepunahan dunia. Mulailah tiba kita menatap waktu demi waktu yang sedikit menepis mimpi. Aku lelah beranjak dengan angan dan harapan semu. Aku terlalu baik mengaku sebagai seorang guru, aku tak cocok mengajarkan bagaimana caranya menjadi seorang yang munafik. Lain di hati bohong juga yang diucapkan.
Hari-hari berlalu seiring ku memahami langkah kakiku. Sampai ku tiba di tepi tebing curam yang terjal. Dari semua yang pernah ku perbuat ternyata inilah yang dapat membuatku melihat sosok ‘Bernama’. Tanpa harus perlu menjadi ‘musang berbulu domba’. Di kabut hari cerah, aku melihat bayanganku sendiri yang sedang giatnya bertaruh menantang kehidupan. Tak ada guna atas semua yang telah kuabdikan. Saatnya sudah aku berlari, bukan merangkak dan menanti orang lain untuk menuntunku berjalan lebih cepat meski kedua kakiku buntung. Tak ada lain lagi sebuah imajinasi melekat pada buah pikiranku.
Masih ada tanganku yang mampu meraba setapak demi setapak perjalananku mencari jati diri. Tidak bergantung pada angin yang berhembusnya ke arah mana. Angin itu bisanya membawa ku ke arah sumber malapetaka yang ku tak tahu di mana ujung pangkalnya. Arahkan sedikit saja mata angin yang terlalu lama menghambat satu per satu jiwa ini. Mungkin aku tak dapat meretas mimpi buruk yang seakan menuntut janji-janji palsu padaku. Tentu saja hidup ini tak ubahnya imajinasi yang tersusun secara sistematis namun tak kiranya ada pengganjal. Tuhan tak diragukan keadilan-Nya, karena sampai saat ini Dia masih adil membagi mana awan dan mana kabut di atas ubun-ubunku. Aku tak pernah menyesal dengan peradaban yang sedang kacau-balau ini, dibaliknya ada setetes embun dari hari malam kemarin yang telah menyejukkan sendi-sendi kegelisahanku. Ku buang riwayat buruk ini hingga masanya berganti menjadi sebuah keabadian yang jauh tempatnya.
Aku terhenti di sini. Di ujung curam yang membawaku terbang bersama burung-burung. Aku tak mengharapkan hal-hal yang tak ingin ku ada pada perjalanan siang dan malam yang tak tentu. Akan kembali nanti cerita itu di saat tubuhku melayang di antara kabut kesunyian.   







No comments:

Post a Comment