PENGUMUMAN PENTING

VISI: Pada tahun 2025 akan menjadi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dalam menghasilkan sarjana yang profesional, menguasai IPTEKS, dan bermanfaat bagi masyarakat yang dilandasi oleh nilai-nilai iman dan takwa

Wednesday, 30 December 2015

BERLAYAR SENDIRI



Cerpen
Oleh; Mahmud Yassin

Pagi itu, matahari masih enggan menampakkan sinarnya yang lembut, sama seperti lelaki itu, yang masih enggan meninggalkan mimpinya.
           
Barangkali perasaannya saja, atau hanya tertelan dalam lamunan. Ia masih berdiri di jambatan yang menyebrangi daratan kenangan itu, begitu ia menyebutnya. Menunggu, tak ada kegelisahan yang tergambar dalam wajahnya. Hanya ketenangan dan sepercik senyuman yang menurutnya mengagumkan, karena ia sangat mengagumi sebuah masa saat ini, saat ia berdiri menunggu kekasihnya tanpa kegelisahan.

            Waktu semakin berjalan, jarum jam terperosok ke angka lima, ia masih saja tersenyum menikmati sepi yang mengagumkan itu. Ia tahu, meski telah mendengarkan janji kekasihnya bahawa ia akan datang tepat pukul lima sore, maka ia akan datang sebelumnya meski tahu kekasihnya akan datang lama setelah janjinya. Betapa sakitnya jika itu terjadi. Tapi tidak untuk lelaki itu, ia tenang-tenang saja dengan keadaan yang seperti itu. Seperti  ia membawakan perempuan yang di nantikan sebuah bunga untuk pertama kalinya dengan perasaaan agak takut dan keringat mengucur deras di keningnya. Namun ia selalu memiliki waktu untuk mengusapnya tanpa diketahui.

            Setengah jam ia sudah menunggu, sama seperti beberapa menit yang lalu, ia masih tanpa kegelisahan, sampai ia melihat bayang-bayang perempuan dengan rambut bergerai di belakangnya, dan memastikan bahwa itu adalah dia, perempuan yang ia tunggu dan menjelma bidadari ketika dalam mimpi. Lalu kemudian tersenyum lebar.
“Tak sia-sia aku menunggumu” ujar lelaki itu, masih dengan senyum yang tak pernah layu.
“Maafkan aku” balasnya.
“Tak apalah, ini sudah menjadi kebiasaan kita selama dua tahun ini”.
“Iya” lalu terdiam. Terdiam sepanjang pertemuan itu. Lelaki itu tak tahu harus mengucapkan apa. Meski sudah menuliskan beberapa kalimat untuk memulaikan pembicaraan semalam suntuk. Namun ketika pertemuan itu tiba, ia seperti di jerat kawat berduri, hingga hatinya, pun tak luput dari perasaanya.
Ia masih terdiam, sampai perempuan itu bertanya “Ada apa denganmu?” Pertanyaan yang tak mampu ia dengarkan dengan hanya waktu sesingkat itu, ia tahu kapan harus menjawab dan membuat wanita itu tersenyum. Sebab baginya, jika perempuan itu tak mampu tersenyum, ia takkan mampu tertidur senyenyak yang ia inginkan, dan akan meminta maaf berhari-hari sampai wanita itu akan mengucapkan sebuah kata “Iya” kata yang tak asing baginya, kata yang pernah membuatnya tertawa dan lupa kapan harus menghentikannya, dan menangis sepanjang malam. Semudah itukah ia menangis?
Iya, menangis memang hal yang wajar ketika ia tak kuat menahan perasaaan yang begitu dahsyat ia rasakan. Karna waktu itu adalah pertama kalinya ia merasakan cinta. Ya, cinta yang teramat tulus.

            “Sudah dua tahun kita menjalani hidup dalam sebuah ikatan, dua tahun itu pula aku tak pernah mendengarmu memanggilku dengan sebutan kakak, bukankah aku lebih tua darimu? Bukankah aku dilahirkan tepat dua bulan sebelum kelahiranmu?” ia membaca sebuah kertas yang ia buka dari lima lipatan dan memegangnya dengan tangan kanan. Dengan ragu ia menatap wajah perempuan itu lalu tertunduk sebentar dan melihat ke arah matahari terbenam. Mereka terkubur dalam kesunyian yang entah datangnya dari mana.
“Iya, maaf” hanya itu. Lelaki itu tersenyum bangga dengan hanya mendengar kata itu. Suasana mulai cair, mereka berbincang satu sama lain, bercengkrama sepanjang perjalanan matahari menuju gelap, lalu terdiam lagi.

            Sesunyi itukah? Tapi tidak dengan perasaan lelaki yang duduk tepat berdampingan dengan perempuan dengan rambut bergerai di belakangnya itu.
“Jadi besok pagi kau harus meninggalkan kota ini” Tanya lelaki itu.
“Iya”
“Secepat itukah kau berlalu dari hadaapanku?”
“Iya”
“Dan ini akan menjadi pertemuan terakhir untuk kita?”
“Mungkin saja”
“Kau akan kembali, kan?”
“Tidak tahu”
“kau pasti ragu dengan pertanyaan itu”
“Iya”
“Lalu bagaimana dengan cinta kita?” pertanyaan itu mengakhiri pembicaraan dan melepaskan keheningan di antara mereka lagi. Sampai akhirnya perempuan itu, dengan mata berkaca-kaca  memandang lelaki di sampingnya.
“Kita biarkan saja berlayar sendiri”
Lelaki itu tertunduk, berdiri, lalu menitikkan air mata.

           
Lama sudah ia tak ingin mengingat cerita itu, tentang sepasang kekasih yang duduk berdampingan menjuntaikan kaki ke bawah,  menghadap barat, dan membicarakan tentang arah barat pula. Tetapi ia masih terusik dengan wanita yang sama, wanita yang ia impikan, kemudian tersenyum dengan kesendirian. Ia memegang erat besi jembatan itu. “Aku akan tetap berada di sini, menantimu, meski harus dengan perasaan yang kau biarkan berlayar sendiri”

*untuk perempuan yang tidak sama sekali mengetahui bahwa ia tersimpan dalam lubuk yang paling dalam.

Mataram,  2015

No comments:

Post a Comment