Cerpen
Oleh; Mahmud Yassin
Pagi itu, matahari
masih enggan menampakkan sinarnya yang lembut, sama seperti lelaki itu, yang
masih enggan meninggalkan mimpinya.
Barangkali perasaannya
saja, atau hanya tertelan dalam lamunan. Ia masih berdiri di jambatan yang
menyebrangi daratan kenangan itu, begitu ia menyebutnya. Menunggu, tak ada kegelisahan yang
tergambar dalam wajahnya. Hanya ketenangan dan sepercik senyuman yang
menurutnya mengagumkan, karena ia sangat mengagumi sebuah masa saat ini, saat
ia berdiri menunggu kekasihnya tanpa kegelisahan.
Waktu
semakin berjalan, jarum jam terperosok ke angka lima, ia masih saja tersenyum
menikmati sepi yang mengagumkan itu. Ia tahu, meski telah mendengarkan janji
kekasihnya bahawa ia akan datang tepat pukul lima sore, maka ia akan datang
sebelumnya meski tahu kekasihnya akan datang lama setelah janjinya. Betapa
sakitnya jika itu terjadi. Tapi tidak untuk lelaki itu, ia tenang-tenang saja
dengan keadaan yang seperti itu. Seperti
ia membawakan perempuan yang di nantikan sebuah bunga untuk pertama
kalinya dengan perasaaan agak takut dan keringat mengucur deras di keningnya.
Namun ia selalu memiliki waktu untuk mengusapnya tanpa diketahui.
Setengah
jam ia sudah menunggu, sama seperti beberapa menit yang lalu, ia masih tanpa
kegelisahan, sampai ia melihat bayang-bayang perempuan dengan rambut bergerai
di belakangnya, dan memastikan bahwa itu adalah dia, perempuan yang ia tunggu
dan menjelma bidadari ketika dalam mimpi. Lalu kemudian tersenyum lebar.
“Tak sia-sia aku menunggumu” ujar lelaki
itu, masih dengan senyum yang tak pernah layu.
“Maafkan aku” balasnya.
“Tak apalah, ini sudah menjadi kebiasaan
kita selama dua tahun ini”.
“Iya” lalu terdiam. Terdiam sepanjang
pertemuan itu. Lelaki itu tak tahu harus mengucapkan apa. Meski sudah
menuliskan beberapa kalimat untuk memulaikan pembicaraan semalam suntuk. Namun
ketika pertemuan itu tiba, ia seperti di jerat kawat berduri, hingga hatinya,
pun tak luput dari perasaanya.
Ia masih terdiam,
sampai perempuan itu bertanya “Ada apa denganmu?” Pertanyaan yang tak mampu ia
dengarkan dengan hanya waktu sesingkat itu, ia tahu kapan harus menjawab dan
membuat wanita itu tersenyum. Sebab baginya, jika perempuan itu tak mampu
tersenyum, ia takkan mampu tertidur senyenyak yang ia inginkan, dan akan
meminta maaf berhari-hari sampai wanita itu akan mengucapkan sebuah kata “Iya”
kata yang tak asing baginya, kata yang pernah membuatnya tertawa dan lupa kapan
harus menghentikannya, dan menangis sepanjang malam. Semudah itukah ia
menangis?
Iya, menangis memang
hal yang wajar ketika ia tak kuat menahan perasaaan yang begitu dahsyat ia
rasakan. Karna waktu itu adalah pertama kalinya ia merasakan cinta. Ya, cinta
yang teramat tulus.
“Sudah
dua tahun kita menjalani hidup dalam sebuah ikatan, dua tahun itu pula aku tak
pernah mendengarmu memanggilku dengan sebutan kakak, bukankah aku lebih tua
darimu? Bukankah aku dilahirkan tepat dua bulan sebelum kelahiranmu?” ia
membaca sebuah kertas yang ia buka dari lima lipatan dan memegangnya dengan
tangan kanan. Dengan ragu ia menatap wajah perempuan itu lalu tertunduk
sebentar dan melihat ke arah matahari terbenam. Mereka terkubur dalam kesunyian
yang entah datangnya dari mana.
“Iya, maaf” hanya itu. Lelaki itu
tersenyum bangga dengan hanya mendengar kata itu. Suasana mulai cair, mereka
berbincang satu sama lain, bercengkrama sepanjang perjalanan matahari menuju
gelap, lalu terdiam lagi.
Sesunyi
itukah? Tapi tidak dengan perasaan lelaki yang duduk tepat berdampingan dengan
perempuan dengan rambut bergerai di belakangnya itu.
“Jadi besok pagi kau harus meninggalkan
kota ini” Tanya lelaki itu.
“Iya”
“Secepat itukah kau berlalu dari
hadaapanku?”
“Iya”
“Dan ini akan menjadi pertemuan terakhir
untuk kita?”
“Mungkin saja”
“Kau akan kembali, kan?”
“Tidak tahu”
“kau pasti ragu dengan pertanyaan itu”
“Iya”
“Lalu bagaimana dengan cinta kita?”
pertanyaan itu mengakhiri pembicaraan dan melepaskan keheningan di antara
mereka lagi. Sampai akhirnya perempuan itu, dengan mata berkaca-kaca memandang lelaki di sampingnya.
“Kita biarkan saja berlayar sendiri”
Lelaki itu tertunduk, berdiri, lalu
menitikkan air mata.
Lama sudah ia tak ingin
mengingat cerita itu, tentang sepasang kekasih yang duduk berdampingan
menjuntaikan kaki ke bawah, menghadap
barat, dan membicarakan tentang arah barat pula. Tetapi ia masih terusik dengan
wanita yang sama, wanita yang ia impikan, kemudian tersenyum dengan
kesendirian. Ia memegang erat besi jembatan itu. “Aku akan tetap berada di
sini, menantimu, meski harus dengan perasaan yang kau biarkan berlayar sendiri”
*untuk perempuan yang tidak sama sekali
mengetahui bahwa ia tersimpan dalam lubuk yang paling dalam.
Mataram,
2015
No comments:
Post a Comment