Oleh:
Bukhori Muslim, M. Pd
Judul
artikel ini mengingatkan kita pada sebuah film yang sangat populer sekitar 14
tahun yang lalu dan menjadi peraih “Drama
Favorit Panasonic Awards” pada tahun 2001 dan 2002 yang penggemarnya
berasal dari berbagai kalangan, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga
orang tua. Film yang dibintangi oleh artis cantik yakni Agnes Monika dan
disutradarai oleh S. Subakti I.S yang diangkat dari sebuah cerita Nucke Rahma
Ric ST. Mulyono ini telah banyak memikat masyarakat Indonesia. Tentu bagi anda
yang mengetahuinya pasti mengatakan itu adalah film “Pernikahan Dini” film yang
menceritakan tentang kisah cinta anak SMA yang berujung pada pernikahan di usia
muda dikarnakan menjalin hubungan percintaan sampai melewati batas. Tebakan
anda sangat tepat, film yang mengangkat penyebab kasus pernikahan dini yang
diakibatkan karena “Kecelakaan” di usia muda dan harus mempertanggungjawabkan
perbuatan mereka dengan cara menikah. Namun, dalam artikel ini penulis tidak
akan menguraikan bagaimana jalan cerita dari Film Pernikahan Dini, namun
penulis mencoba menawarkan beberapa solusi strategis yang dapat memecahkan
maraknya kasus pernikahan dini di kalangan remaja. Tulisan ini bermula dari
salah satu komentar kepala BKKBN (Prof. Fasli Jalal) sebagaimana dilangsir pada
liputan6.com edisi 26 November 2014 bahwa pernikahan dini sudah menjadi tren di
kalangan masyarakat perkotaan bukan hanya di pedesaan. Sebuah data tahun 2007
menyebutkan bahwa setiap 1000 remaja, ada 26 diantara mereka sudah menikah,
selanjutnya pada tahun 2012, angka itu naik menjadi 31 dari 1000 remaja.
Indonesia
pada tahun 2015 dikagetkan dengan tingginya angka kematian Ibu dan bayi akibat
menikah terlalu muda, sebagaimana yang dikemukakan oleh staf Ahli Menkokesra
Bidang MdGs, Dr. Tubagus Rachmat Santika, Sp, A, MARS bahwa kematian ibu dan
bayi sangat berpengaruh pada hidup anak muda, 36, 6 persen wanita menikah di
bawah 15 tahun, 37 persen menikah antara 16 tahun dan 23 persen menikah setelah
17 tahun, dan 68 persen kematian terjadi karena menikah terlalu muda. Itulah
gambaran yang terjadi di tanah air yang sudah berumur 70 tahun. Tingginya
pernikahan dini juga menjadi bagian yang belum terpecahkan di Kabupaten Lomok
Timur, karena beberapa media yang pernah penulis baca seperti Lombok Post, dan Suara NTB pernah merilis bahwa kasus pernikahan dini banyak terjadi
di Kabupaten Lombok Timur. Tentu masih banyak fakta yang mengisakkan kesedihan
yang mendalam yang menimpa bangsa ini akibat dari pernikahan dini. Namun dalam
hal ini sebagai parktisi pendidikan, penulis ingin menyoroti pengaruh kegiatan
ekstarkurikuler terhadap kasus pemicu pernikahan dini di kalangan remaja usia
sekolah.
Ekstrakurikuler
merupakan kegiatan non akademik yang berkembang di sekolah-sekolah untuk
menampung minat dan bakat siswa yang ingin menyalurkan hobi mereka
masing-masing. Kegiatan ekstrakurikuler memiliki nilai positif di dalam
membentuk karakter dan melatih siswa untuk berorganisasi dan menumbuhkembangkan
jiwa kepemimpinan. Dengan adanya ekstrakurikuler di setiap sekolah siswa akan
disibukkan dengan berbagai kegiatan sehingga tidak memikirkan hal-hal yang
kurang bermanfaat. Selain itu, kegiatan ekstrakurikuler memiliki dampak yang
sangat luar biasa terhadap pergaulan dan pola pokir yang dimiliki oleh siswa
yang bersangkutan. Mereka cendrung berpikir dinamis, kritis, dan berpikir maju
daripada siswa yang tidak mengikuti ekstrakurikuler sama sekali. Maka dengan
demikian, jika dikaitkan dengan pernikahan dini, siswa yang ikut
ekstrakurikuler akan lebih sulit untuk tergerus dalam kasus pernikahan di bawah
umur karena secara pergaulan dan pola pikir lebih maju satu langkah dari mereka
yang tidak mengikuti ekstrakurikuler.
Maraknya
kasus pernikahan dini diakibatkan karena pergaulan remaja yang kelewatan batas
dan lemahnya kontrol yang diberikan oleh orang tua serta lembaga pendidikan
atau instansi yang bersangkutan sehingga mereka menghabiskan waktu luang mereka
di luar jam sekolah untuk berkumpul atau jalan-jalan bersama pasangan kencan
mereka. Pergaulan dan gaya pacaran yang tidak mengenal batas “Etika” sering
kali menimbulkan kecelakaan yang didasarkan atas dasar suka sama suka, karena
pada dasarnya remaja lebih cendrung berpikir kesenangan daripada damapak yang
mereka dapatkan. Sehingga tidak mengherankan, jika kasus pernikahan dini lebih
banyak diakibatkan oleh pengaruh gaya pacaran dan pemanfaatan waktu luang yang
tidak efektif.
Dengan
demikian, kegiatan ekstrakurikuler di sekolah-sekolah dapat menjadi solusi di
dalam mencegah aksi pernikahan dini di kalangan remaja. Dengan catatan bahwa
siswa yang tergabung dalam ekstrakurikuler sekolah mendasarninya dengan niat
yang sungguh-sungguh dalam mengikuti setiap program yang sudah direncanakan.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah kontrol pembina masing-masing ekstra,
tanpa kontrol dari pembina maka kegiatan ekstra tidak akan pernah berjalan
dengan maksimal, justru yang terjadi adalah ekstrakurikuler hanya dijadikan
sebagai ajang untuk mencari pacar atau pertemuaan yang tidak ada bedanya dengan
anak-anak yang tidak mengikuti organisasi sekolah. Dalam hal ini, pembina dan
pihak sekolah dituntut serius dalam menjalankan program yang sudah direncanakan
jangan sampai ekstrakurikuler tidak memiliki program tertulis. Jika kontrol
pembina dan sekolah sudah berjalan dengan maksimal maka individu-individu yang
ada dalam kegiatan ekstrakurikuler tersebut tidak akan terpikirkan kepada
pergaulan yang negatif.
Namun,
penulis juga berpandangan bahwa kegiatan ekstrakurikuler juga menjadi pemicu
maraknya pernikahan dini di kalangan remaja apabila individu yang tergabung
dalam organisasi atau ekstrakurikuler sekolah menjadikan ekstrakurikuler
sebagai wadah untuk mencari pasangan “Pacar.” Jika dalam membangun niat sudah
melenceng, maka hasil yang didapatkan juga akan melenceng. Ada sebuah kasus
yang mungkin tidak pernah terekspose di telinga masyarakat Kabupaten Lombok
Timur, kasus ini terjadi di salah satu SMK, bermula dari seorang siswi yang
meminta izin untuk mengikuti latihan PMR kepada orang tuanya pada sore hari,
orang tua siswi yang bersangkutan sangat percaya dengan apa yang dituturkan
oleh anaknya dan akhirnya si orang tua memberikan izin tanpa berpikir
macem-macem. Dengan dibonceng oleh seorang laki-laki akhirnya si perempuan
tersebut pergi meninggalkan rumah, di tengah perjalanan, sepasang kekasih ini
akhirnya membelok arah, bukannya pergi ke sekolah melainkan pergi ke sebuah
penginapan hingga si anak pun tidak pulang. Sebagai orang tua, tentu dia sangat
kahwatir karena anaknya tidak pulang-pulang. Maka dia berinisiatif pergi mencari
ke sekolah dan ke rumah teman dekatnya. Namun, tidak juga ditemukan sama sekali
baik di sekolah maupun di rumah temannya. Bahkan salah satu teman dari siswi
tersebut mengaku bahwa tidak ada jadwal latihan ekstra apapun di sekolah.
Namun, pada keesokan harinya siswi tersebut pulang ke rumahnya, setelah
diintrogasi maka dia mengakui pernah menginap di sebuah penginapan bersama
pacarnya. Untuk menutupi aib keluarga, maka orang tua dari pihak perempuan
akhirnya menuntut kepada si laki-laki yang membawa pergi untuk menikahi
anaknya. Pupuslah semua harapan dan masa bahagia si anak, tidak bisa lagi
merasakan indahnya masa-masa remaja. Dia harus menerima nasib sebagai seorang
sepasang istri di saat umurnya baru
beranjak 16 tahun dari seorang laki-laki yang baru dikenal.
Maka
dari cerita di atas, dapat diketahui bahwa ekstrakurikuler juga dapat menjadi
pemicu aksi pernikahan dini bagi kalangan siswa. Jadi, kegiatan ekstrakurikuler
di sekolah tidak bisa dijadikan sebagai satu-satunya solusi untuk mencegah maraknya
pernikahan dini di kalangan siswa apabila tidak ada kontrol yang penuh dari
pihak pembina dan sekolah. Ekstrakurikuler yang dapat menjadi solusi dalam
mencegah maraknya pernikahan dini yakni ekstrakurikuler yang memiliki kontrol
penuh dari sekolah dan memiliki program yang terencana. Semoga tulisan ini
menjadi bahan evaluasi bagi setiap sekolah untuk dapat menjadikan
ekstrakurikuler menjadi sarana yang produktif untuk membian dan mengembangkan
pengembangan diri tiap remaja.
No comments:
Post a Comment