PENGUMUMAN PENTING

VISI: Pada tahun 2025 akan menjadi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dalam menghasilkan sarjana yang profesional, menguasai IPTEKS, dan bermanfaat bagi masyarakat yang dilandasi oleh nilai-nilai iman dan takwa

Tuesday, 23 May 2017

PENDIDIKAN vs KEMISKINAN STRUKTURAL: Inspirasi Hardiknas 2016

Oleh : Mugni Sn. (M.Pd.,M.Kom.,Dr.)
(Ketua ICMI Orda Lotim/Dosen Kopertis pada FKIP UNW Mataram)

Kemiskinan istilah klise yang kontradiksi. Kontradiksi dalam kajian semantik. Semantik ilmu bahasa yang mengkaji makna kata. Klise instilah yang diberikan kepada kata/istilah yang terlau sering digunakan/diucapkan sehingga maknanya hampir semua orang mengetahuinya. Pendengar menjadi bosan untuk mendengarkan. Tetapi untuk kemiskinan istilah klise yang terus menarik untuk dibicarakan dan menjadi topik trendi. Dalam Pilkada kemiskinan menjadi topik trendi. Gizi buruk karena kemiskinan. Kekeringan menyebabkan kemiskinan. Paket lebaran untuk orang miskin. BOS supaya anak miskin tidak putus sekolah. Jamkesmas untuk kesehatan orang miskin. Raskin supaya orang miskin tetap dapat makan nasi. BLT untuk orang miskin, dan seterusnya. Pokoknya banyak istilah dan banyak program yang dilahirkan dari kata miskin.
Bila musim pilkada tiba, kemiskinan menjadi materi kampanye paling ngetren. Semua kandidat akan menjual isu kemiskinan. Bila terpilih akan menciptakan lapangan kerja bagi orang miskin. Mengratiskan sekolah dan kesehatan bagi orang miskin. Dan, memberikan paket khusus tunai kepada orang-orang miskin bila ada hari-hari besar, misalnya Muharram, lebaran, dan lain-lain. Bahkan ada juga kandidat yang menang dalam Pilkada pada periode ke-2 karena prestasi dan prestisenya dalam memberikan paket langsung bagi orang-orang miskian yang dikaitkan dengan moment-moment hari besar, sepeti lebaran.
Pemerintahan Lombok Timur yang dinakodai oleh Alkhair telah menjadikan paket lebaran sebagai program unggulan. Mengapa unggulan karena setiap tahun terus dianggarakan. Lebaran tahun 2016 menjadi periode ke-3. Bahkan ada juga istilah paket Muharram. Peket Muhahram untuk peringatan hari besar Islam yang diisi dengan berbagai kegiatan keagamaam, yang salah satunya memberikan bantuan-batunan sosial kepada lembaga-lembaga keagamaam, sepeti masjid, pondok pesantren, kelompok-kelompok usaha, marbot, guru ngaji, dan lain-lain. Bagus juga program ini. Tetapi bila diperhatikan list penerima bantuan maka ada ketidakadilan karena ada pihak-pihak tertentu nominal yang diterima sangat besar bila dibadingkan dengan pihak lain. Bila dipertanyakan kepada instansi yang mengelola bantuan maka pasti dijawab, “Itu kebijakan bapak Bupati”.
Paket lebaran terus bergulir sejak tahun pertama era pemerintahan Alkhair tahun 2014. Tahun itu paket lebaran dianggarakan untuk 50.000 keluarga miskin. Pada tahun 2015 jumlahnya ditingkatkan menjadi untuk 80.000 keluarga miskin. Dan, untuk tahun 2016 telah beredar di media bahwa Pemda Lombok Timur telah menganggarkan 21 M untuk paket lebaran bagi 80.000 keluarga miskin. Anggaran untuk paket lebaran ini tertuang dalam APBD yang telah ditetapkan oleh DPRD. Hal ini berarti bahwa DPRD menyetujui ada paket lebaran bagi warga miskin di Lombok Timur.
Dua kali pengadaan paket lebaran terus dirundung masalah. Masalah dalam kualitas isi paket. Masalah dalam distribusi, dan lain-lain. Paket lebaran ini teridikasi berbau korupsi sehingga aparat berwajib turun tangan untuk melacak. Bahkan untuk paket lebaran 2015, sejumlah PNS Lombok Timur dari kalangan pejabat, staf, dan guru telah dimintai keterangan oleh aparat penagak hukum. Tetapi sejauh ini proses permintaan keterangan terus didalami tetapi masih belum ada yang ditetapkan sebagai tersangka. Paket lebaran 2016 akankah menambah lagi pekerjaan bagi aparat hukum. Waallahuaklam
Paket lebaran terus dirundung masalah dan bila dikaji secara kholistik kontribusinya tidaklah terlalu signifakn bagi orang miskin. Paket lebaran yang berisi kebutuhan pokok dengan nilai 180 ribu sangtlah kecil dan akan langsung habis dikonsumsi dalam jangka waktu beberapa jam. Kecuali kain yang akan dapat digunakan dalam beberapa bulan yang kualitas sangat rendah. Akan lebih bermakna bila anggaran paket lebaran ini digunakan untuk mengatasi masalah kemiskinan struktural di Lombok Timur.
Kemiskiann struktural adalah kemiskinan yang turun temurun. Orang tuanya miskin maka anaknya miskin juga. Bahkan cucunya ikut miskin, dan seterusnya. Hal ini berarti bahwa program-program untuk mengentaskan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah dan pihak-pihak lain tidak memberikan kontribusi yang signifikan untuk mengentaskan kemiskinan. Program pengentasan kemiskinan hanya sebagai pemadam kebakaran. Seperi paket lebaran yang dianggarkan di Lombok Timur, tahun 2014, 50 ribu paket, 2015, 80 ribu paket, dan 2016 80 ribu paket. Ini berarti bahwa program-program untuk mengentaskan rakyat miskin dalam dua tahun berjalan belum berkontribusi. Sementara angaran paket lebaran sangat pristesius, yakni 21 miliar. Mengapa dana sebesar ini tidak digunakan untuk mengentaskan kemiskinan struktural?
Pengentasan kemiskinan struktural akan dapat terwujud bila ada upaya terstruktur untuk memotong rantai kemiskian. Artinya bila orang tua miskin maka anak-anaknya tidak lagi miskin. Untuk itu program harus difokuskan untuk memberdayakan anak-anak rakyat miskin. Dalam berbagai teori bahwa pendidikan merupakan jalan yang paling meyakinkan untuk mengentaskan kemiskinan. Untuk itu, program pengentasan kemiskinan harus berfokus pada pemberian pendidikan kepada anak-anak keluarga msikin. Pendidikan yang lebih spesifik bukan pendidikan reguler serpti yang terjadi pada anggaran BOS, Indonesia Pinter, dan berbagai besasiswa yang diberikan kepada anak-anak miskin dengan pola pendidikan sekolah reguler.
Pola pendidikan reguler dengan berada di sekolah 6 jam hanya memberikan pengetahuan baca tulis kepada anak. Setelah pulang sekolah anak-anak miskin kembali bergaul bebas dengan lingkungan tanpa kontrol yang baik dari keluarga dan masyarakat. Dalam pergaulan ini, anak-anak keluarga miskin tidak ada yang bisa menjamin bahwa yang bersangkutan tidak akan terpengaruh dengan hal-hal negatif yang sudah sangat marak saat ini seperti narkoba, pergaulan bebas, geng motor, kebut-kebutan, dan lain-lain. Untuk mengentaskan kemiskinan struktural ini maka anak-anak dari keluarga miskin harus disekolahkan pada sekolah-sekolah berasrama yang mengontrol siswanya selama 24 jam. Anak-anak tidak berpeluang untuk mengerjakan hal-hal yang negatif. Sekolah-sekolah berasrama telah terbukti dapat mengantarkan siswanya menjadi orang-orang yang sukses di tengah-tengah masyarakat. Bukankah hampir semua sekolah yang melahirkan siswa atau menerima siswa yang berkualitas adalah berasrama, seperti IPDN, SMA Taruna Nusantara, Pesantren Gontor, dan lain-lain. Semua sekolah itu berasrama dan kepengasuhannya sangatlah ketat.
Sekolah-sekolah berasrama bukan hanya memberikan kemampuan baca tulis kepada siswanya tetapi tiga elemen utama pendidikan menjadi fokus perhatian, yakni kognitif, afektif, dan psikomotor. Siswa akan dilatih/dibimbing/dibina/diasuh untuk menjadi orang yang berintelektual tinggi, beraklaq mulia, dan terampil dalam berkarya dan bergaul. Bahkan tidak sedikit sekolah-sekolah berasarama saat ini telah memberikan bekal kemampuan berbahasa intrernasional bagi para siswanya, seperti Pesantren Gontor di Jawa Timur. Bila siswa telah tamat dari sekolah yang dikelola oleh pondok pesantren ini maka yang bersangkutan telah siap bersaing dalam era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Bahkan era ekonomi global karena mereka telah dibekali dengan keterampilan berbahasa Arab dan Bahasa Inggris. Bila alumi sekolah jenis ini menjadi TKI maka yakinlah tidak akan menjadi pembantu rumah tangga atau berkerja di hutan sawit. Tetapi mereka akan berkerja di arena-arena publik karena mereka juga telah dibekali dengan keilmuan dan sikap serta skill yang baik.
Saat ini di NTB sudah tidak sulit untuk mendapatkan sekolah-sekolah jenis ini karena saat ini telah banyak pondok-pondok pesantren yang mengasramakan seluruh santrinya dan menjadikan bahasa Arab dan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi sehari-hari. Artinya seluruh santri diwajibkan untuk menggunakan bahasa Arab dan Bahasa Inggris dalam seluruh aktivitas selama 24 jam. Pesantren jenis ini antara lain. Nurul Hakim Kediri, Nurul Harmain Narmada, Yanmu Praya, Ulil Albab Perian, Cendekia Aikmel, dan lain-lain. Keuntungan lain belajar di pondok pesantren jenis ini para santri juga dilatih/dibimbing untuk fasih membaca Al-Qur’an, belajar kitab kuning, berlatih menjadi imam/khotib, berpidato, dan lain-lain serta diberikan keterampilan untuk hidup mendari. Bahkan ada juga pondok pesantren-pondok pesantren jenis ini yang mendirikan sekolah formal dalam bentuk SMK. Bila santri memilih SMK maka mereka sudah siap untuk memasuki pasar kerja atau membuka lapangan kerja sendiri setelah tamnat. Siswa SMK di pondok pesantren berasarama tingkat keterampilan akan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan SMK reguler karena mereka dapat praktik setiap saat bahkan malam hari karena mereka akan berada di lingkungan pondok selama 24 jam. SMK reguler paling 6 jam kalaupun sampai 10 jam tetapi itu sekali waktu. Mereka juga tidak akan dipusingkan dengan urusan makan karena sudah dimasakan oleh pondok. Tentu mereka membayar uang makan/uang asrama setiap bulan.
Untuk memutus rantai kemiskinan maka seharusnya pemerintah memfokuskan program-program pengentasan kemiskian untuk menyekolahkan putra-putri keluarga miskin pada pondok pesantren-pondok pesantren jenis ini. Mereka dibiaya uang makan/uang sekolahnya secara total selama menempuh satu jenjang pendidikan. Mislanya jenjang SLTA atau SLTP maka mereka harus dibiayai selamna 3 tahun. Bila uang makan/sekolah per bulan 500 ribu maka tiap tahun seorang anak akan dibiayai sebesar Rp 6.000.000,-. Dalam 3 tahun sebesar 18.000.000. Bila telah tamat mereka telah tergransi mampu berkomunikasi dengan bahasa Arab, bahasa Inggris, fasik memnbaca Al-Qur’an, siap menjadi imam/khotib. Bahkan biasa membaca kitab kuning. Dan, yang pasti mereka mendapatkan bekal keterampilan untuk hidup mandiri, khsususnya yang mengambil pendidikan formal SMK. Bila diambil contoh paket lebaran di Lombok Timur sebesar 21 M maka dalam satu tahun telah dapat disekolahkan anak-anak dari keluarga miskin sebanyak 1.160 orang anak untuk masa pendidikan tiga tahun. Bila dalam satu periode pemerintahan berdurasi 5 tahun maka akan terdidik anak-anak dari keluarga miskin sebanyak 5.830 orang anak. Sebanyak inilah rantai kemiskinan struktural telah terputusakan karena mereka akan berkerja dan akan mendapatkan penghasilan yang layak. Wallahuaklam bissawab.






MENGALIHKAN KESEKSIAN BUTA AKSARA
Oleh : Mugni Sn. (M.Pd.,M.Kom.,Dr.)
(Ketua ICMI Orda Lotim/Dosen Kopertis pada FKIP UNW Mataram)

Dalam dua periode kepemimpinan TGB sudah segudang prestasi nasional telah diraih. Tetapi ada juga prestasi nasional yang menyayat hati. Tahun 2016 ini NTB telah direalis sebagai propinsi yang meraih predikat nomor satu untuk buta aksara. NTB menjadi propinisi yang paling tinggi angka pesentase buta aksaranya di seluruh negeri. Padahal meliaran rupiah anggaran yang telah digelontorkan sejak era Gubernur Lalu Srinata sampai dengan periode pertama TGB. Periode pertama ini tagling yang dilekatkan pada TGB adalah TGB - BM karena saat itu TGB berpasangan dengan Bandrul Munir (BM).
Era TGB - BM salah satu program perioritas adalah AKSANO (Angka Buta Aksara Menuju Nol). Untuk mewujudkan program ini maka miliaran rupiah anggaran negara dalam bentuk APBN dan APBD digelontorkan untuk menuntaskan angka buta aksara. Berbagai pihak diikutsertakan untuk menggarap proyek ini. Organisasi kemasyarakatan, perguruan tinggi, LSM, dan lain-lain. Semua ramai-ramai membuat proposal untuk mendapatkan kucuran dana proyek. Satu kelompok yang berjumlah 10 orang anggarannya 2,5 - 3 juta dan harus tuntas dalam 30 hari. Hebat... yang belajar orang tua-tua dan harus bisa baca tulis dalam jangka waktu 30 hari. Bisakah dan mungkinkah...? Ternyata... itu bisa dalam laporan...? Laporan yang tidak terevaluasi dengan benar. Sekalipun ada evaluasi tetapi yang mengevaluasi pihak internal. Ya... x... sama-sama tau. Ternyata setelah BPS mengadakan pendataan masyarakat NTB umur 15 tahun ke atas yang masih buta aksara masih ada sekitar 15 %. Sementara data dikpora tinggal 4 %. Terjadi perbedaan 11 % antara evaluasi internal dan evaluasi eksternal. Perbedaan yang sangat signifikan. Manakah yang harus dipercaya..? Seharusnya evaluasi esternallah yang paling meyakinkan. Ya... evaluasi yang dilakukan oleh BPS. Menyikapi masih tingginya angka buta aksara di NTB pasca AKSANO tidak lagi menjadi perioritas, Kadis Dikpora NTB - Rosyadi Sayuthi bilang, “Buta Aksara Tidak Seksi”
Evaluasi yang dilakukan oleh BPS dalam rangka penghitungan Indek Pembangunan Manusia (IPM) NTB. Indikator IPM adalah pendidikan (lama belajar), pendapatan (ekonomi), dan derajat kesehatan (kesehatan). Dalam perhitungan IPM, NTB masih berada pada urutan ke-2 dari bawah. Dalam IPM ini, poisis NTB tidak pernah bergeser dari posisi nomor urut 2 dari bawah sejak Timor Timur masih bergabung dengan republik. Saat ini Indonesia sudah memiliki 34 propinsi dan NTB masih eksis pada urutan ke-2 dari bawah. Hal ini terjadi karena di NTB masih banyak masyarakatnya yang buta aksara. Masyarakat yang buta aksara ini menjadikan penduduk yang bersangkutan masa belajarnya nol tahun. Sementara indikator pendidikan dihitung dari masa (lama) belajar rata-rata penduduk satu daerah. Lama belajar seluruh masyarakat dibagi dengan jumlah penduduk. Untuk itu menurut data BPS lama belajar masyarakat NTB masih berada pada pada posisi kelas 1 SLTP.
Bila merujuk pada indikator IPM pada pendidikan maka biarkan saja buta aksara tidak seksi seperti ungkapan Kadis Dikpora NTB. Biarkan saja tidak menarik lagi untuk ditoleh. Keseksiannya lebih baik diarahkan pada pendidikan generasi masa depan, yakni anak-anak NTB. Dana yang akan dianggarkan oleh Wakil Gubernur untuk program pemberantasan buta aksara akan lebih bermakna bila digunakan untuk memperpanjang masa belajar generasi muda NTB. Dana-dana itu lebih baik digunakan untuk menguliahkan putra-putri NTB sehingga masa belajar mereka menjadi lebih panjang. Lama belajar mereka ini akan menjadi kompensasi bagi orang tua mereka yang masih buta aksara.
Menjadikan buta aksara seksi tidak akan membawa makna yang signifikan. Bila mereka bisa baca tulis untuk apa...? Mereka sudah berumur lanjut. Hari ini bisa besok sudah lupa. Mereka juga tidak terlalu banyak waktu dan tidak tertarik untuk mengulangi baca tulisnya. Mereka juga tidak akan menggunakanya dalam kehidupan sehari-hari karena mereka bukan pengusaha yang akan menghitung pemasukan dan pengeluaran. Tidak akan menghitung untung dan rugi setiap hari. Lebih baik yang digalakkan untuk usia-usia mereka ini adalah pemberantasan buta aksara huruf hijaiyah yang akan menjadi bekal mereka untuk baca tulis Al-Qur’an yang akan mereka gunakan sehari-hari dalam beribadah, terutama sholat dan berdoa. Sholat hukumnya pardu ain. Untuk itu setiap orang muslim seharusnya bisa baca tulis Al-Qur’an sehingga bacaan sholatnya menjadi benar.Untuk buta aksara huruf latin biarlah dikonfensasi oleh anak-anak mereka.
Pada era awal TGB - BM telah ada program berlian untuk generasi emas NTB, yakni memberikan beasiswa sarjana untuk 2000 mahasiswa, 100 orang magister dan 25 orang untuk program doktor. Program ini berlian ini hanya berjalan 2 tahun setelah itu lenyap ditelan bumi. Bisik-bisik beberapa anggota DPRD NTB ternyata anggaran untuk besiswa S.1, S2, dan S3 ini dialihkan untuk pemberantasan buta aksara. Padahal program ini sangatlah seksi karena akan membawa multiefek bagi dunia pendidikan tinggi NTB. Di samping itu akan berpengaruh juga untuk perhitungan idek IPM NTB dari indikator pendidikan.
Multiefek yanag akan ditimbulkan bahwa 2000 orang anak-anak NTB setiap tahun akan tergaransi menjadi sarajan, 100 orang akan bergaransi menjadi magister, dan 25 orang akan bergelar doktor. Bila dalam jangka lima tahun akan tercetak 10.000 orang sarjana, 500 orang magistert dan 125 orang doktor. Bila dalam hitungan normal perkuliahan maka bagi seorang sarjana masa belajarnya 16 tahun. Untuk magiter 18 tahun, dan untuk doktor 19 tahun. Masa belajar normal SD 6 tahun, SLTP 3 tahun, SLTA 3 tahun, Sarjana 4 tahun, magister 2 tahun dan doktor 3 tahun. Jadi dalam perhitungan IPM 10.000 x 16 tahun, 500 x 18 tahun dan 125 x 19 tahun. Total masa belajar ini dibagi dengan jumlah penduduk. Bila kita menginginkan masa belajar masyarakat NTB rata-rata tamat SLTP maka satu orang magister telah mewakli 2 orang penduduk.
Pemberian besaiswa untuk kuliah ini juga akan mebawa efek positif bagi perguruan tinggi NTB. Beasiswa-beasiswa ini dilepas dan dibagi rata ke perguruan tinggi-perguruan tinggi NTB sesuai dengan jenisnya. Untuk akademi, sekolah tingghi, institut, dan universitas. Tentunya beasiswa ini disertai dengan persyaratan tertentu. Misalnya untuk sarjana (S.1) diperuntukan bagi mahasiswa dari keluarga miskin. Untuk S.2 dan S.3 untuk dosen dan pegawai pemda yang pekerjaannya membutuhkan kualifikasi akademik S.2 atau S.3. Tetapi akan lebih bermakna bila beasiswa S. Dan S.3 ini khusus diperuntukan bagi dosen-dosen yang mengajar pada perguruan tinggi-perguruan tinggi NTB.
Distribusi beasiswa ini bisa juga dengan pendekataqn bidang ilmu sesuai dengan kebutuhan NTB masa kini dan masa depan. Tentunya dengan menggunakan pendekatan persentasi. Misalnya ilmu pertanian 10 %, ilmu IT 5 %, ilmu pendidikan 10 %, ilmu-ilmu keislaman 10 %, pertambangan, dan seterusnya sampai mencapai target 100 %. Beasiswa sarjana hanya diberikan pada anak NTB yang kuliah di NTB kecuali bila bidang ilmu itu tidak ada di NTB. Begitu juga untuk program S.2 dan S.3 kecuali bidang ilmu/program magister/doktor tidak ada di NTB. Mengapa demikian... supaya uang daerah yang diberikan kepada mereka dinikmati kembali oleh masyarakat NTB. Bila kuliah di luar NTB maka mereka akan membeli nasi bungkus pada kaki lima di sana, mempotokopi bahan kuliah di sana. Di samping itu, khusus untuk program sarjana juga untuk membantu perguruan tinggi-perguruan tinggi NTB lebih seksi. Perguruan tinggi akan mendapatkan tambahan bahan promosi bahwa di kampusnya bahwa telah ada beasiswa disediakn oleh pemda dengan persyaratan tertentu.
Keseksian perguruan tinggi akan semakin membelakkan mata karena dosen-dosennya akan tergaransi berpendidikan magister dan doktor. Misalnya setiap tahun akademi diberikan jatah 2 orang untuk S.2, politeknik/sekolah tinggi 3 orang, institut 4 orang dan universitas 6 orang. Dalam jangka waktu lima tahun pada sekolah tinggi akan ada 15 orang dosennya yang bergeral magister. Bila sekolah tinggi itu hanya ada 2 program studi maka seluruh dosen tetapknya telah bergelar S.2 bahkan telah lebih 3 orang karena dalam aturan penyelenggaraan perguruan tinggi tiap program studi harus memiliki 6 orang dosen tetap. Bila dalam lima tahun sekolah tinggi diberikan jatah 6 orang untuk program doktor dari 25 orang program daerah tiap tahun. Sekolah tinggi telah tergaransi dosennya 6 orang akan bergelar doktor. Dengan kualifikasi akademik dosen-dosen yang seluruhnya magister dan telah ada yang bergelar doktor maka aktivitas tridarma pergurtuan tingggi akan berjalan dengan baik. Hal ini akan berimplikasi pada diraihnya nilai akreditasi yang baik bahkan unggul. Nilai akreditasi yang unggul akan berimplikasi pada kualitas alumni yang dihasilkan oleh perguruan tinggi. Nilai akreditasi akan sangat ditentukan oleh kualitas dosen. Kualitas dosen akan ditentukan oleh kualifikasi akademik. Dosenlah yang akan mendesain/melakukan pembelajaran. Dosenlah yang akan melakukan penelitian. Dosenlah yang akan melakukan pengabdian. Pembelajaran, penelitian, dan pengabdian yang dilakukan oleh dosen berkualifikasi akademik S.2 dan S.3 sudah pasti berbeda kualitasnya. Untuk itu, biarlah buta aksara tidak seksi. Keseksiannya dialihkan ke pendidikan tinggi. Dan, Pak Wakil Gubernur NTB tidak perlu melanjutkan program buta aksara yang hanya menjadi proyek rapi dalam laporan. Wallahuaklam bissawab.




No comments:

Post a Comment