PENGUMUMAN PENTING

VISI: Pada tahun 2025 akan menjadi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dalam menghasilkan sarjana yang profesional, menguasai IPTEKS, dan bermanfaat bagi masyarakat yang dilandasi oleh nilai-nilai iman dan takwa

Wednesday, 30 December 2015

Konsep Profesi Keguruan



Pendahuluan

Memiliki profesi dan menjadi orang yang profesional merupakan dambaan setiap orang. Seorang yang memiliki profesi dalam lingkungan sosial lebih dihormati daripada yang tidak memiliki profesi. Kenapa demikian? Karena profesi dapat dijadikan sebagai alat untuk meningkatkan status sosial. Orang yang memiliki profesi dalam satu bidang akan cendrung lebih dipercayai oleh masyarakat daripada orang yang tidak memiliki profesi. Namun, perlu disadari bahwa tidak semua pekerjaan dapat disebut sebagai profesi. Seorang petani yang bekerja di sawah tidak bisa dikatakan sebagai orang yang berprofesi sebagai petani apabila bertani hanya berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang diwariskan secara tradisional. Contoh lain, sorang yang berprofesi dokter akan lebih dipercayai dapat mengobati pasien daripada orang yang bukan dokter walaupun dalam realitanya orang yang tidak memiliki profesi dokter memiliki keahlian dalam mengobati pasien. Sesungguhnya terdapat perbedaan makna antara profesi dan pekerjaan walaupun kedua istilah ini sering kali tidak bisa dibedakan.
Kata profesi berasal dari bahasa latin yakni  “Profesio” yang berarti “Ikrar”. Sejarah munculnya profesi menurut Prof. Muhajir (dalam Fathurrahman dan Suryana, 2012) yakni diawali di lingkungan gereja. Para biarawan dan biarawati menyerahkan diri dalam hidupnya untuk bekerja demi Tuhannya dan kemanuisaan, berikrar bekerja untuk greja dan berjanji “Tanpa meminta bayaran atau gaji.” Sejarah munculnya profesi telah mencerminkan makna yang dalam pada kata “Profesi”.  Kenapa demikian? Karena profesi sejatinya merupakan sebuah ikrar yang tulus dan suci tanpa adanya embel-embel jasa yang harus diterima oleh pemegang profesi tersebut. Namun, kata profesi telah mengalami perubahan makna yang lebih luas daripada makan sebelumnya. Profesi tidak lagi memiliki makna yang sakral. Hal ini dapat kita lihat dan dengar bahwa di sekeliling kita muncul istilah-istilah penjahat profesional, pembunuh profesional, perampok yang profesional dan masih banyak lagi sebutan-sebutan yang mengarah kepada makna yang negatif. Hal ini juga spendapat dengan apa yang dikatakan oleh Huntington ((dalam Fathurrahman dan Suryana, 2012) bahwa istilah profesi yang awalnya suci dan mulia, semenjak abad ke-18 bertambah fungsinya serta tidak menunjukkan persepsi suci dan mulia.
Pandangan yang berbeda tentang profesi diungkapkan oleh Shaw (dalam Koehn, 2009) bahwa semua profesi merupakan persekongkolan melawan kaum awam. Pernyataan tersebut memang benar adanya, bahwa dewasa ini banyak orang setuju dengen penilaian Shaw. Kaum profesional berdiri sebegai tertuduh karena dianggap lebih menginginkan status dan kekayaan, bahkan memperdaya dan bukannya menlong klien-klen mereka. Sebagai contoh kecil tuduhan pada penegak hukum sering kali mendapatkan penilaian negatif dari masyarakat karena para penegak hukum mempertontonkan hal yang kurang pantas terhadap masyarakat, berlaku kurang adil kepada kaum lemah dan membela kaum yang berduit walaupun dalam keadaan bersalah. Banyak para penegak hukum melakukan kesewang-wenangan di dalam menegakkan hukum, mudah disuap dan membolak balikkan fakta. Penilaian negatif masyarakat kepada kaum profesional telah menjadikan sebuah profesi menjadi kurang bernilai. Hal ini boleh jadi disebabkan karena kurangnya pemahaman kaum profesional terhadap makna profesi yang sedang diembankannya.
Agar pemahaman kita tidak rancu tentang profesi, maka berikut dijelaskan secara detail istilah-istilah yang berkaitan dengan profesi, profesioanl, profesionalitasm dan profesionalisme.
2.   Pengertian Profesi, Profesional, Profesionalitas, Profesionalisme
Profesi merupakan bentuk kata benda (nomina)  yang menurut KBBI adalah bidang pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan keahlian, keterampilan, kejuruan. Pengertian profesi menurut Satori, dkk (2005) adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian (expertise) dari para anggotanya. Definisi yang tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Fathurraman dan Suryana (2012) bahwa profesi adalah suatu pekerjaan yang didasarkan atas studi intlektual dan latihan yang khusus. Horenby (dalam Ramyulis 2013) mengungkapkan bahwa istilah profesi memiliki dua makna. Pertama, profesi itu menunjukkan dan mengungkapkan sesuatu kepercayaan (to profess means to trust), bahkan suatu keyakinan (be bealife in) atas suatu kebenaran (ajaran agama atau kredibilitas seseorang. Kedua, profesi diartikan sebagai suatu pekerjaan atau urusan tertentu a particuler business.
Secara garis besar profesi merupakan pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan dalam waktu yang cukup lama. Profesi tidak dapat diraih tanpa adanya keahlian, dengan demikian istilah profesi tidak sama dengan pekerjaan, walaupun pekerjaan juga bagian dari profesi, namun tidak semua pekerjaan dapat disebut profesi. Jika profesi membutuhkan keahlian khusus yang diperoleh melalui kegitan intlektual dan diakui oleh masyarakat, sedangkan pekerjaan tidak menuntut persyaratan khusus agar bisa disebut pekerjaan. Dokter tidak bisa disebut sebagai pekerjaan dokter karena untuk menjadi seorang dokter dibutuhkan keahlian khusus yang diperoleh melalui pendidikan kedokteran sekaligus harus melalui pelatihan yang membutuhkan waktu yang cukup lama. Begitu juga guru, untuk menjadi seorang guru tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang karena guru merupakan orang yang berperan penting dalam membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang cerdas, berwawasan, dan berakhlak mulia. Oleh sebab itu, untuk membentuk manusia yang cerdas dibutuhkan orang yang ahli di bidangnya yakni seorang guru. Profesi guru tidak dapat diperoleh apabila orang yang bersangkutan tidak lahir dari pendidikan yang tinggi yang membutuhkan waktu yang lama dan disiplin ilmu yang khusus. Beda halnya dengan artis, walaupun dia memiliki keahlian dalam biang akting atau seni tarik suara,  namun keahlian tersebut diperoleh melalui pengalaman maka tidak dapat disebut sebagai suatu profesi.
Istilah lain yang sering muncul ketika membicarakan profesi adalah profesional. Profesional menunjuk kepada dua hal.  Pertama, orang yang menyandang suatu profesi. Kedua, penampilan seorang dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya, (Lihat Satori, 2005). Sementara itu dalam KBBI istilah profesional merupakan kata sifat yang memiliki arti memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya, mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya (lawan dari amatir). Dalam wikipedia istilah profesional merupakan istilah bagi seseorang yang menawarkan jasa atau layanan sesuai dengan protokol dan peraturan dalam bidang yang dijalaninya dan menerima gaji sebagai upah atas jasanya. Orang yang profesional juga disebut merupakan anggota suatu entitas atau organisasi yang didirkan sesuai dengan hukum di sebuah wilayah atau negera.
Pengertian profesional secara umum adalah seseorang yang melakukan pekerjaan berdasarkan kemampuan yang tinggi dan didasarkan kepada nilai-nilai moral yang berlaku dalam masyarakat atau negara. Seorang yang profesional tidak akan pernah melakukan sesuatu pekerjaan dengan mencoba-coba namun didasarkan atas pengetahuan yang dimiliki sesuai dengan aturan atau norma yang ada dalam profesi tersebut. Orang yang profesional senantiasa melakukan sesuatu pekerjaan berdasarkan skil, pengetahuan dan sikap bukan didasarkan atas sifat subjektifitas. Guru yang profesional akan mengajarkan peserta didik mereka berdasarkan keahlian dan pengetahuan yang mereka miliki serta memiliki sikap yang patut dicontoh oleh peserta didik.
    Istilah yang ketiga yang juga memiliki kaitan dengan istilah profesi yakni profesionalisme. Profesionalisme mengandung makna komitmen anggota profesi terhadap profesi yang digeluti yang berupa peningkatan kompetensi dan mengembangkan pemikiran, ide, dan strategi-strategi yang dibutuhkan dalam menunjang kemajuan profesinya. Komitmen anggota profesi lahir dari ketulusan dan keihlasan yang tinggi untuk sungguh-sungguh mengembangkan dirinya ke arah yang lebih baik. Guru dikatakan sebagai orang yang memiliki profesionalisme adalah guru yang secara terus menerus mengembangkan kemampuannya baik kemampuan pedagogik, personal, sosial, dan profesional. Dengan adanyanya profesionaliseme pada setiap anggota profesi maka dapat memiliki efek kepada kemajuan profesi yang sedang digeluti. Profesionaliseme tidak akan muncul tanpa ada dorongan dari internal dan eksternal anggota profesi.
Istilah selanjutnya yakni profesionalitas yang menunjukkan sikap para anggota profesi kepada profesi mereka masing-masing. Sikap yang dimaksud dalam pengertian profesionalitas yakni sikap terhadap derajat pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki dalam melakukan pekerjaanya, (Lihat Ramyulis, 2013). Orang yang memiliki profesionalitas senantiasa selektif di dalam menentukan profesinya. Mereka tidak akan mau menyanggupi pekerjaan yang tidak sesuai dengan kemampuan atau tataran ilmu yang dimiliki. Guru yang latar belakang pendidikan Ekonomi tidak akan mau mengajarkan bahasa Indonesia, maka itulah guru yang memiliki profesionalitas.
Selain istilah profesionalitas ada juga istilah profesionalisasi   yang memiliki arti peroses peningkatan kualifikasi maupun anggota profesi dalam mencapai kriteria yang standar dalam penampilannya sebagai suatu profesi, (lihat Satori, dkk, 2005). Profesionalisasi senantiasa berlanjut selama masih memegang suatu profesi yang ditekuni. Profesionalisasi tidak hanya dalam bentuk melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi namun dapat dilakukan melalui kegiatan pelatihan, workshop, dan Bintek. Kegiatan yang berupaya untuk meningkatkan kemampuan profesional seseorang disebut sebagai profesionalisasi.  



Daftar Pustaka
Fathurrahman dan Suryana. 2012. Guru Profesional. Bandung: Aditama
Koehn Daryl. 2000. Landasan Etika Profesi. Yogyakarta:Kanisius
Mahfus, Asep. 2012. Cara Cerdas Mendidik yang Menyenangkan. Bandung:Simbosa Rakatama Media.
Rahmayulis. 2013. Profesi dan Etika Keguruan. Jakarta: Kalam Mulia
Satori. Dkk. 2005. Profesi Keguruan. Jakarta: UT
Soetjipto dan Kosasi. 2011. Profesi Keguruan. Jakarta: Rineka Cipta




 

BERLAYAR SENDIRI



Cerpen
Oleh; Mahmud Yassin

Pagi itu, matahari masih enggan menampakkan sinarnya yang lembut, sama seperti lelaki itu, yang masih enggan meninggalkan mimpinya.
           
Barangkali perasaannya saja, atau hanya tertelan dalam lamunan. Ia masih berdiri di jambatan yang menyebrangi daratan kenangan itu, begitu ia menyebutnya. Menunggu, tak ada kegelisahan yang tergambar dalam wajahnya. Hanya ketenangan dan sepercik senyuman yang menurutnya mengagumkan, karena ia sangat mengagumi sebuah masa saat ini, saat ia berdiri menunggu kekasihnya tanpa kegelisahan.

            Waktu semakin berjalan, jarum jam terperosok ke angka lima, ia masih saja tersenyum menikmati sepi yang mengagumkan itu. Ia tahu, meski telah mendengarkan janji kekasihnya bahawa ia akan datang tepat pukul lima sore, maka ia akan datang sebelumnya meski tahu kekasihnya akan datang lama setelah janjinya. Betapa sakitnya jika itu terjadi. Tapi tidak untuk lelaki itu, ia tenang-tenang saja dengan keadaan yang seperti itu. Seperti  ia membawakan perempuan yang di nantikan sebuah bunga untuk pertama kalinya dengan perasaaan agak takut dan keringat mengucur deras di keningnya. Namun ia selalu memiliki waktu untuk mengusapnya tanpa diketahui.

            Setengah jam ia sudah menunggu, sama seperti beberapa menit yang lalu, ia masih tanpa kegelisahan, sampai ia melihat bayang-bayang perempuan dengan rambut bergerai di belakangnya, dan memastikan bahwa itu adalah dia, perempuan yang ia tunggu dan menjelma bidadari ketika dalam mimpi. Lalu kemudian tersenyum lebar.
“Tak sia-sia aku menunggumu” ujar lelaki itu, masih dengan senyum yang tak pernah layu.
“Maafkan aku” balasnya.
“Tak apalah, ini sudah menjadi kebiasaan kita selama dua tahun ini”.
“Iya” lalu terdiam. Terdiam sepanjang pertemuan itu. Lelaki itu tak tahu harus mengucapkan apa. Meski sudah menuliskan beberapa kalimat untuk memulaikan pembicaraan semalam suntuk. Namun ketika pertemuan itu tiba, ia seperti di jerat kawat berduri, hingga hatinya, pun tak luput dari perasaanya.
Ia masih terdiam, sampai perempuan itu bertanya “Ada apa denganmu?” Pertanyaan yang tak mampu ia dengarkan dengan hanya waktu sesingkat itu, ia tahu kapan harus menjawab dan membuat wanita itu tersenyum. Sebab baginya, jika perempuan itu tak mampu tersenyum, ia takkan mampu tertidur senyenyak yang ia inginkan, dan akan meminta maaf berhari-hari sampai wanita itu akan mengucapkan sebuah kata “Iya” kata yang tak asing baginya, kata yang pernah membuatnya tertawa dan lupa kapan harus menghentikannya, dan menangis sepanjang malam. Semudah itukah ia menangis?
Iya, menangis memang hal yang wajar ketika ia tak kuat menahan perasaaan yang begitu dahsyat ia rasakan. Karna waktu itu adalah pertama kalinya ia merasakan cinta. Ya, cinta yang teramat tulus.

            “Sudah dua tahun kita menjalani hidup dalam sebuah ikatan, dua tahun itu pula aku tak pernah mendengarmu memanggilku dengan sebutan kakak, bukankah aku lebih tua darimu? Bukankah aku dilahirkan tepat dua bulan sebelum kelahiranmu?” ia membaca sebuah kertas yang ia buka dari lima lipatan dan memegangnya dengan tangan kanan. Dengan ragu ia menatap wajah perempuan itu lalu tertunduk sebentar dan melihat ke arah matahari terbenam. Mereka terkubur dalam kesunyian yang entah datangnya dari mana.
“Iya, maaf” hanya itu. Lelaki itu tersenyum bangga dengan hanya mendengar kata itu. Suasana mulai cair, mereka berbincang satu sama lain, bercengkrama sepanjang perjalanan matahari menuju gelap, lalu terdiam lagi.

            Sesunyi itukah? Tapi tidak dengan perasaan lelaki yang duduk tepat berdampingan dengan perempuan dengan rambut bergerai di belakangnya itu.
“Jadi besok pagi kau harus meninggalkan kota ini” Tanya lelaki itu.
“Iya”
“Secepat itukah kau berlalu dari hadaapanku?”
“Iya”
“Dan ini akan menjadi pertemuan terakhir untuk kita?”
“Mungkin saja”
“Kau akan kembali, kan?”
“Tidak tahu”
“kau pasti ragu dengan pertanyaan itu”
“Iya”
“Lalu bagaimana dengan cinta kita?” pertanyaan itu mengakhiri pembicaraan dan melepaskan keheningan di antara mereka lagi. Sampai akhirnya perempuan itu, dengan mata berkaca-kaca  memandang lelaki di sampingnya.
“Kita biarkan saja berlayar sendiri”
Lelaki itu tertunduk, berdiri, lalu menitikkan air mata.

           
Lama sudah ia tak ingin mengingat cerita itu, tentang sepasang kekasih yang duduk berdampingan menjuntaikan kaki ke bawah,  menghadap barat, dan membicarakan tentang arah barat pula. Tetapi ia masih terusik dengan wanita yang sama, wanita yang ia impikan, kemudian tersenyum dengan kesendirian. Ia memegang erat besi jembatan itu. “Aku akan tetap berada di sini, menantimu, meski harus dengan perasaan yang kau biarkan berlayar sendiri”

*untuk perempuan yang tidak sama sekali mengetahui bahwa ia tersimpan dalam lubuk yang paling dalam.

Mataram,  2015